wadhih ad-Dalalah
MemahamiTingkat Kejelasan Dalil Nash Syar'i
I.
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab agung yang dikaruniakan Allah
sebagai pedoman ummat Islam di muka bumi ini. Begitu juga dengan hadits, sebagai
penjelas dari bentuk Al-Quran yang masih bersifat global. Maka, perlunya
memahami nas-nash yang terkandung di dalamnya sebagai peninjau hukum bagi
kehidupan kita.
Fuqaha’ menyebutkan,”Min aladzdzil fiqh fahmu
istid-laalaat an-nusuush.”, bahwa termasuk dari nikmatnya ilmu fiqih adalah
memahami dalil-dalil nash. Oleh sebab itu, besarnya perhatian ulama’ dalam memahami
beberapa kaidah, diantaranya Kaidah Ushuliyyah dan Kaidah Fiqhiyyah,
sehingga dapat meganalisa dan memahami dalil-dalil nash yang ada, sehingga menjadi
sesuatu yang sangat urgen di kalangan para ulama’ dalam memahami hukum fiqh.
Kaidah Ushuliyyah Al-Lughawiyyah berperan penting di dalam memahami nash-nash
syar’i. Berbagai macam dari kalangan ulama’ dalam memaknai dan memberikan
tingkatan Kaidah Ushuliyyah al-Lughawiyyah, akan tetapi seluruhnya
merujuk kepada satu makna, yaitu memahami suatu nash berdasarkan apa yang
dikehendaki syariat. Dengan begitu, penulis ingin memaparkan istilah di dalam
pembahasan ini sebagaimana yang diperincikan oleh ulama’ Hanafiyah, yang pada
umumnya sepadan dengan keadaan masa kini.
II.
Pembahasan
A.
Definisi Waadhih ad- Dalaalah
Waadhih
ad- Dalaalah
menurut ahli ushul adalah suatu nash atau lafadz yang jelas dan menunjukkan
arti yang dimaksud dengan bentuknya sendiri tanpa bergantung kepada faktor
eksternal.[1]
Ada
beberapa tingkatan lafadz (dalalah) dari sisi kejelasannya yang ditinjau
dari mungkin dan tidaknya untuk dapat ditakwil. Ketika memang suatu lafadz yang
tidak perlu untuk ditakwil, maka dalil tersebut terletak
pada tingkatan teratas dari segi kejelasan maknanya, disebut al- Muhkam
(yang ditentukan hukumnya), apabila suatu lafadz tidak perlu untuk ditakwil,
akan tetapi dapat dinaskh, maka dinamakan mufassar (yang ditafsirkan). Apabila
terdapat suatu lafadz yang menerima takwil, takhsis dan naskh, akan tetapi
susunan makna dan maksudnya dapat dipahami dari lafadz tersebut, maka dinamakan
nash. Apabila lafadz tersebut menunjukkan makna yang mudah dipahami
secara langsung, akan tetapi bukan menunjukkan makna yang dimaksud dari susunan
kalimat tersebut, maka dinamakan dzahir (yang jelas).
Hukum
daripada wadhih ad-dalalah adalah seluruh nash yang terdapat pada wadhih
ad-dalalah wajib diamalkan dengan apa yang terdapat di dalam istilah wadhih
ad-dalalah. Meskipun begitu, nash-nash tersebut tidak sah untuk ditakwil
kecuali dengan dalil yang sah.[2]
B.
Tingkatan Waadhih ad- Dalaalah
Ulama’
Ushuliyyin membagi tingkatan waadhih ad-dalaalah menjadi empat macam,
diantaranya; dari tingkatan yang terendah, yaitu dzahir, nash, mufassar,
kemudian muhkam. Muhkam adalah dalalah yang paling jelas dan
paling tinggi tingkatannya, selanjutnya; yaitu mufassar, nash, kemudian dzahir.
Dari tingkatan yang telah kami paparkan di atas secara global, maka akan kami
paparkan pula tingkatan dalalah dari yang paling rendah sebagai berikut.
1.
Dzahir
a)
Definisi Dzahir
Dzahir
adalah yang paling rendah dalam tingkatan kekuatan dalalahnya.[3] Dzahir secara bahasa, diambil dari kata dzuhuur,
yang berarti nampak dan tersingkap.[4]
Menurut madzhab Hanafiyah, dzahir adalah ungkapan yang menunjukkan makna
yang jelas. Akan tetapi, makna asli dari sebuah lafadz tersebut bukanlah yang
dimaksud (secara syari’at).[5]
Sedangkan menurut Ushuliyyiin, ialah sesuatu yang menunjukkan arti yang
dimaksud dari lafadz tersebut dengan bentuk lafadznya sendiri tanpa bergantung
kepada faktor eksternal. Namun, bukan berarti memiliki makna asli dari
bentuknya sendiri atau memiliki kemungkinan untuk ditakwil.[6]
Dengan kata lain, dzahir adalah lafadz yang dapat dipahami oleh akal, akan
tetapi memungkinkan untuk bisa ditakwil. Misalnya:
﴿فاَنكْحِوُا ماَ طاَب لَكَمُ مْنِ اَلنِّساَء مِثَنْىَ وثَلُاث وَرَبُاَع ﴾َ[النساء: 3]؛
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja....” (QS. An Nisaa’
: 3)
Secara dzahir, adalah
kebolehan untuk menikah. Akan tetapi, makna
yang diminta bukanlah dari segi susunan kalimat di atas, melainkan susunan
kalimat di atas untuk menjelaskan
bolehnya melakukan poligami.[7]
Begitu juga dengan sabda Rasulullah, ketika
ditanya oleh sahabatnya mengenai kesucian air laut. Secara dzahir,
menjelaskan mengenai hukum bangkai laut. Akan tetapi, yang dimaksud bukanlah
dari bentuk asli dari lafadz tersebut, melainkan kepada kesucian air laut.
Karena yang dititikberatkan adalah mengenai kesucian air laut, bukan kehalalan
dari bangkai tersebut.[8]
Hadits Abu Hurairah r.a., ia berkata: “Seorang lelaki bertanya kepada Nabi
s.a.w., : Wahai Rasulullah, kami sedang berlayar di laut, akan tetapi bekal
(persediaan) air yang kami bawa hanya sedikit. Apabila kami berwudhu dengannya,
bisa jadi kami akan kehausan lantaran air tersebut habis. Haruskan kami
berwudhu dengan air laut?, kemudian Rasulullah bersabda: Airnya suci, dan
bangkainya halal.” (Hadits ini shahih yang dikeluarkan oleh Ash-habus
Sunan).
Firman
Ta’alaa: QS. Al-Baqarah: 275
﴿....وأَحَلَّ اللَّهُ البْيَعَ وَحَرَّمَ اَلرِّباَ ...﴾ [البقرة: 275 [
“...padahal Allah telah menghalalkan jual-beli
dan mengharamkan riba...” (QS. Al-Baqarah (2): 275).
Secara dzahir,
ialah dihalalkannya jual beli dan diharamkannya riba. Karena makna tersebut jelas dan mudah dipahami secara langsung dari
dua bentuk kalimat ahalla dan harrama, tanpa disertai kepada qarinah
dari jalur eksternal. Akan tetapi, ini bukanlah makna asli dari bentuk lafadz
ayat tersebut, karena maksud asli meniadakan kesamaan antara jual beli dan
riba, serta membantah orang-orang yang mengatakan bahwasanya jual beli itu
seperti riba.[9]
b)
Hukum Dzahir
Hukum
dzahir, seperti yang dipaparkan di dalam kitab Al-Qawaa’iid
Al-Ushuuliyyah ‘inda Asy-Syathiby, adalah wajibnya menunaikan makna lafadz
tersebut secara bahasa, qath’iy dan yakin dengan menggunakan makna yang mudah
dipahami secara langsung, karena lafadz tersebut seperti yang dikehendaki
syari’at. Maka harus ditunaikan, dan termasuk hujjah. Oleh karena itu, tidak
diperbolehkan memalingkan makna tersebut kepada makna selainnya.[10]
Abdul
Kariim Zaidan di dalam kitabnya, Al-Wajiz fie Ushuulil Fiqh,manambahkan
hukum dzahir dengan diterimanya naskh di dalam lafadz dzahir
hanya pada masa Rasuullah s.a.w., karena naskh tidak terjadi pada
sepeningal beliau s.a.w.[11]
Seperti ditakwilnya
sebuah lafadz yang dzahir, dari makna umum yang mengandung ihtimal untuk
ditakhsis, firman Allah QS. Al-Baqarah: 275
﴿وأَحَلَّ اللَّهُ البْيَعَ وَحَرَّمَ اَلرِّباَ ﴾ [البقرة: 275 [
Artinya: “...padahal
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba...” (QS. Al-Baqarah
(2): 275).
Disamping riba (yang
masih bersifat umum), Rasuullah s.a.w., melarang pula segala transaksi yang
berbau riba, misalnya jual beli gharar dan jual beli yang tidak sesuai dengan
kebiasaan manusia, pada umumnya.[12]
2.
Nash
a)
Definisi Nash
Nash
menurut bahasa, adalah munculnya segala sesuatu yang tampak.[13]
Secara istilah, sesuatu yang menunjukkan
makna yang dimaksud secara asli dari susunan kalimatnya melalui bentuk
lafadznya sendiri, akan tetapi ia mengandung
makna untuk ditakwil[14]
atau bertambahnya kejelasan dalalah daripada dzahir ditinjau dari
qarinah yang menyertai lafadz dari mutakallim sendiri.[15]
Abdul Karim Zaidan menambahkan di dalam pengertian nash, bahwasanya nash dapat
menerima takwil dan menerima naskh hanya
pada masa Rasulullah s.a.w., saja, sehingga wajib menggunakan dalil tersebut
selama tidak ada dalil yang menyimpang (dari dalil nash) dan sesuatu yang tidak
dikehendaki oleh nash.[16]
Seperti firman Allah:
﴿فاَنكْحِوُا ماَ طاَب لَكَمُ مْنِ اَلنِّساَء مِثَنْىَ وثَلُاث وَرَبُاَع ﴾َ[النساء: 3]؛
Artinya:
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga,
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja....” (QS. An Nisaa’ : 3)
b)
Hukum Nash
Hukum
nash seperti hukum dzahir, yaitu wajib menggunakan dalil tersebut
yang mudah dipahami maknanya secara langsung, baik yang dimaksud secara dzat
maupun asli. Akan tetapi, apabila nash tersebut berupa lafadz yang khusus, maka
mengandung makna untuk ditakwil, dan apabila nash tersebut berupa lafadz yang
umum, maka lafadz tersebut mengandung makna untuk ditakhshish.[17]
Perbedaan dzahir dan nash
-
Dalalah nash
lebih jelas dibanding dzahir bila ditinjau dari segi maknanya
-
Makna nash ialah makna yang asli dari susunan kalimatnya. Sedangkan makna dzahir
ialah makna yang mengikuti, bukan asli dari susunan kalimatnya.
-
Kandungan ihtimal untuk ditakwil pada nash lebih
jauh dari pada ihtimal dzahir untuk ditakwil.
-
Bilamana terjadi pertentangan antara nash dengan dzahir,
maka yang dikuatkan adalah nash daripada dzahir[18]
3.
Mufassar
a)
Definisi Mufassar
Mufassar,
lebih tinggi tingkatannya daripada nash, karena tidak ada lagi kemungkinan
adanya takwil. Akan tetapi, mengandung kemungkinan untuk dinaskh hanya pada
masa Rasulullah s.a.w.[19]
Imam As-Sarakhsy menjelaskan di dalam kitabnya, Ushuul As-Sarakhsy,
bahwa mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan
petunjuk yang tegas dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil
atau ditakhsis, namun pada masa Rasullullah masih bisa dinasakh.[20]
Mufassar
terbagi menjadi dua, yaitu mufassar bi nafsihi dan mufassar bi
ghairihi. Mufassar bi nafsihi, secara langsung dari nash itu
sendiri. Seperti firman Allah,
﴿إِنَّ الإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا﴾ ]المعارج:[
Artinya:
“Sesungguhnya manusia diciptakan dalam kedaan mengeluh.”
Lafadz
هَلُوْعًاmenjelaskan secara global dan sudah Allah tafsirkan secara qath’iy. Dan
firman Allah Ta’alaa mengenai hadd zina, QS. An-Nuur:
2,
﴿فَاجْلِدُوْا
كُلُّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا مِائَةُ جَلْدَةً﴾ ]النّور:[2
Artinya: “…maka cambuklah masing-masing dari keduanya
seratus kali cambuk…”
Kemudian dijelaskan pula di dalam hadd qadzaf,
﴿فَاجْلِدُوْهُمْ
ثَمَانيِن جَلْدَةً﴾ [النور: 4[
Artinya:
“ Maka cambuklah mereka sebanyak delapan puluh kali.”
Lafadz مِائَةُ
dan ثَمَانيِن adalah mufassar, karena
masing-masing dari lafadz tersebut menunjukkan jumlah tetentu. Dan jumlah yang
sudah ditetapkan di dalam syariat tidak dapat menarik kemungkinan untuk
ditambah ataupun dikurangi. [21]
Sedangkan mufassar bi ghairihi,
menjelaskan arti yang terkait dengan sumber nash tersebut, seperti sunnah
qauliyyah maupun fi’liyyah yang menjelaskan nah yang masih bersifat mujmal di
dalam Al-Qur’an. Contohnya: sholat, haji, dan semisalnya.[22]
Untuk membedakan dalalah dzahir, nash dan mufassar dengan
melihat bahwa dalalah dzahir dan nash masih memerlukan ihtimal
takwil dan takhsis, sedangkan mufassar sendiri sama sekali tidak membutuhkan ihtimal.
b)
Hukum Mufassar
Wajib
mengggunakan dalil tersebut secara qath’iy sebagaimana yang telah terperinci,
sebab tidak ada lagi ihtimal untuk ditakwil dan selamanya tidak bisa menerima
naskh. Namun, ada kemungkinan untuk dinaskh apabila lafadz tersebut berupa
hukum far’i yang meminta adanya perubahan.[23]
Dengan begitu, lafadz mufassar tidak bisa diartikan secara dzahir maupun nash
secara langsung, sebab tidak menerima takwil maupun takhsis.
4.
Muhkam
a)
Definisi Muhkam
Menurut
As-Sarakhsi, muhkam adalah menolak adanya takwil dan naskh. Menurut Ushuliyyin, ialah menunjukkan
makna dalalah yang jelas (tegas) dan tidak dapat menerima takwil (takhsis dan
naskh) pada masa Rasulullah s.a.w., dan pada masa setelah berhenti turun wahyu.[25]
Muhammad Khudhari Bek,
di dalam kitabnya, Ushuul Al-Fiqh mengatakan bahwa muhkam adalah lafadz
yang jelas dalalahnya dari segi maknanya secara wadh’iy tanpa ada kemungkinan (ihtimal)
terhadap sesuatu.[26]
Dikarenakan nash-nash tersebut sangat berkaitan
erat dengan pokok aqidah yang tidak dapat menerima perubahan, seperti pokok
rukun iman dan perintah berbuat baik terhadap kedua orangtua dan sesama manusia,
serta menyambung silaturrahim. Disamping itu, diharamkan berbuat sesuatu
yang dapat mendatangkan dampak buruk, seperti berbuat dzalim dan saling bermusuhan.
Atau berupa hukum far’i yang bersifat juz’iy, yang dijelaskan oleh
syariat berdasarkan ketetapannya dan kesinambungannya. Sebagaiman hadits tentang isra’ mi’raj, atas
diwajibkannya shalat lima waktu.[27]
Seperti firman Allah Ta’alaa yang sangat
jelas mengenai hukuman bagi penuduh ketika
tidak dapat mendatangkan empat orang saksi:
﴿وَلاَ تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً
أَبَدًا. ﴾] النّور: 4[
Artinya:
“Dan janganlah kamu menerima kesaksiaan mereka selama-lamanya.” (QS. An
Nuur : 4)
Kalimat
larangan ini disertai dengan lafadz أَبَدًا , hal ini menunjukkan dalil muhkam yang tidak
dapat dinaskh.[28]
b)
Hukum Muhkam
Wajib
menggunakan dalil tersebut secara qath’iy tanpa ada keraguan, karena tidak
mengandung makna selainnya dan tidak menerima adanya perubahan secara mutlak,
sama halnya seperti pada masa Rasulullah s.a.w., atau setelahnya. Karena, adanya
hukum yang tertera di dalam Al-Quran dan As-Sunnah sudah menjadi ketetapan mutlak sepeninggal Rasulullah s.a.w., tanpa
adanya naskh.[29]
Secara
mudahnya, berikut table dari seluruh pembahasan di atas:
C.
Penutup
Kesimpulannya,
tidaklah seluruh dalil yang dipahami secara langsung atau dengan sendirinya.
Namun, pastinya terdapat makna tersirat yang dikehendaki oleh syari’at supaya
tidak salah merealisasikannya dalam kehidupan. Di samping itu terdapat pula
dalil yang diproduksi secara instan dari sang pembuat syari’at, tanpa ada
pemahaman dari akal manusia, sebab keberadaannya itu di luar batas kemampuan
tolak pikir manusia.
Demikian makalah yang penulis
paparkan mengenai Kaidah Ushuliyyah Al-Lughawiyyah yang meninjau kepada
bab Wadhih Ad-Dalaalah. Penulis berharap kepada pembaca agar memaklumi
dan memaafkan, serta melakukan pembenaran terhadap bahasa penulisan apabila
terdapat kesalahfatalan di dalam penulisan, sehingga dapat mencapai tingkat
kesempurnaan. Sebab tiada gading yang tak retak. Wallaahu A’lam bish
Shawaab.
*****
Daftar Pustaka
Al-Qur’anul
Karim
Abdul ‘Al,
Abdul Hayy. Pengantar Ushul Fiqh.
Abu Zahroh,
Muhammad. Al-Wajiiz fie Ushuulil Fiqh,
Al-Asyqar,
Muhammad Sulaiman Abdullah. Al-Wadhih fie Ushuulil Fiqh lil Mubtadi- iin. (Kairo: Daar As-Salaam. Cet: 2.
1425 H/2004 M)
Al-Ghazaly.
Al-Mustashfaa min ‘Ilmil Ushuul. ()
Al-Judai’,
Abdullah bin Yusuf. Taisir ‘Ilmi Ushuuli Fiqh. (Beirut: Muassasah Ar- Royaan. Cet: 1. 1418 H)
Al-Karamasty,
Yusuf bin Husain. Al-Wajiiz fie Ushuulil Fiqh. (t.t: Darul Huda lit Thabaa’ah. 1404 H/1983 M)
Al-Mariny,
Al-Jilaly. Al-Qawaa’id Al-Ushuuliyyah ‘inda Asy-Syathiby min Khilaali Kitaabihi Al-Muwaafaqoot. (Kairo:
Daar Ibnu ‘Affan. Cet: 1. 1433 H)
As-Sarkhasi,
Abu Bakar Ahmad. Ushuul As-Sarkhasi. (Beirut: Darul Kutub Al- ‘Ilmiyah. Cet: 1. 1414 H/1993 M)
Az-Zarkasyi.
Al-Bahrul Muhiith fie Ushuulil Fiqh. (Kairo: Darush Shofwah. Cet: 2. 1413 H/1992 M)
Az-Zuhaily,
Wahbah. Al-Wajiiz fie Ushuulil Fiqh. (Damaskus: Darul Fikr. Cet: 2. 1419 H/1999 M)
Hasan, Khalid Ramadhan. Mu’jam Ushuul Al-Fiqh. (t.t: Ar-Raudhah.
Cet: 1. 1998 M)
Husain,
Ahmad Farraj. As-Sarity, dk. Ushuul Al-Fiqh Al- Islaamy. (Iskandaria:
Muassasah Ats-Tsaqafah Al-Jami’iyah. 1410 H/1990 M)
Khallaaf,
Abdul Wahhaab. Ushuul Al-Fiqh.
Khudhari
Bek, Muhammad. Ushuul Al-Fiqh. (Mesir: Maktabah At-Tijariyyah Al- Kubro. Cet: 6. 1389 H/1969 M)
Zaidan,
Abdul Karim. Al-Wajiiz fie Ushuulil Fiqh. (Beirut: Muassasah Ar-Risalah.
1987 M)
Komentar