HUKUM MENIKAHI DUA PEREMPUAN BERSAUDARA SECARA BERSAMAAN


HUKUM MENIKAHI DUA PEREMPUAN BERSAUDARA 

SECARA BERSAMAAN 

Oleh: Qurrota A'yunZen

I.                   Pendahuluan

Allah menciptakan makhluk yang bernama manusia penuh dengan keistimewaan. Sebab itu, Allah menurunkan aturan hidup bagi seseorang dalam menjalani keistimewaannya. Aturan yang merupakan prinsip aspek kehidupan manusia, mencakup unsur perdamaian bagi kemaslahatan ummat dan mencegah berbagai hal yang menimbulkan perpecahan dan pertikaian. Manusia adalah makluk sosial. Allah menjadikannya berpasang-pasangan sebagai suami istri, yang disebut pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu sunnah rasul untuk membina keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.  
Merupakan fitrah bagi seorang lelaki yang memiliki hasrat terhadap wanita. Maka, ia berhak mengajukan keiginannya terhadap wanita tertentu untuk menikahinya. Namun, apabila hal ini terjadi pada seorang suami yang sudah beristri, memiliki hasrat terhadap saudara iparnya atau bibi sang istri, kemudian menikahinya bersama istri pertamanya, bagaimana ketentuan hukumnya menurut Islam? Di dalam pembahasan berikut, kami paparkan mengenai hukum menikahi dua perempuan bersaudara secara sekaligus.

II.                Pembahasan

a.      Menikahi dua perempuan bersaudara secara bersamaan

Yang dimaksud dengan dua atau sekelompok perempuan bersaudara, adalah sekelompok saudara perempuan kakak beradik dan sekelompok perempuan antara keponakan dan bibinya, yang dinikahi oleh satu orang lelaki sekaligus dalam satu ikatan pernikahan, baik sekandung, seyah, seibu maupun sesusuan.[1] Termasuk juga antara perempuan merdeka dan budak, atau kedua-duanya budak.[2]

b.      Tinjauan hukum Islam

Imam Ibnu Rajab berkata,” Tidak diperbolehkan mengumpulkan seorang perempuan (dalam satu ikatan pernikahan) dengan bibinya sampai ke atas, antara dua perempuan bersaudara dan seorang perempuan dengan ibunya.”[3]
Sehubungan dengan kondisi permasalahan di atas, banyak menimpa di kalangan masyarakat. Bahkan pada masa jahiliyyah pun sudah terjadi seperti ini. Mereka berbuat semena-mena tanpa didasari pondasi yang murni, sehingga banyak diantara mereka timbul berbagai pertumpahan darah di kalangan kerabat dekat sendiri. Apa jadinya jika satu kerabat menjadi satu keluarga?
Allah Ta’alâ berfirman:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ….  [النساء/23[
            “....dan (jangan pula) menggabungkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah lampau”. (QS. An Nisa’: 23)
Beliau j bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا ، وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا ). رواه مسلم.
“Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah j bersabda, Tidak boleh menggabungkan antara seorang wanita dengan bibinya, baik bibi dari ayah maupun dari ibu (dalam satu ikatan pernikahan yang sama).” (HR. Muslim 1408)
Dalil di atas merupakan dalil yang disepakati oleh seluruh ulama’ ats haranya mengumpulkan seorang perempuan dengan bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu secara hakiki[4] maupun majazi[5]. Berbeda dengan syiah dan khawarij yang membolehkan hal itu, dengan alasan firman Allah QS. An-Nisa’: 23
            وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ...(النّساء:23 )
            “...dan dihalalkan bagimu pula para wanita ...”
            Sama halnya, jumhur ulama’ juga berdalil dengan ayat ini, akan tetapi menurut jumhur, ayat ini telah ditakhsis oleh beberapa hadits yang mengharamkannya.[6]
Pada umumnya, ulama’ Ahlussunnah, diantaranya; empat ulama’ madzhab, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Imam An-Nawawy, Ibnu Hajar Al-Asqalany dan sebagainya sepakat haramnya pernikahan ini bila dilakukan dalam satu ikatan sekaligus.[7]
            Sulaiman al-Asyqar berpendapat, jika seorang lelaki melakukannya dalam dua akad dan waktu yang sama, maka batal akad keduanya. Akan tetapi, jika akadnya dilakukan dalam waktu yang berbeda, maka batallah akad kedua, bukan pertama.[8] Berbeda dengan pengarang kitab Ahkam az-Zawaj wa ath-Thalaq, jika akad dilakukan dalam akad yang sama, maka akadnyanya fasid (rusak), tidak ada yang lebih baik dan lebih utama dari keduanya. Jika dilakukan dalam dua akad, maka batal pernikahan yang kedua, dan sah pernikahan yang pertama, selama belum menggauli istri yang kedua. Dan baginya menjalani masa iddah. Ini menurut Hanafiyah.[9] Begitu pula dengan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.[10]
a.       Ketentuan menurut Malikiyah:
-          Apabila dilakukan dalam dua akad, baik sudah menggauli ataupun belum, maka akad yang diakui adalah akad yang pertama, sedangkan yang kedua dinamakan faskh, bukan talak, sehingga tidak ada hak mahar.
b.      Ketentuan menurut Syafi’iyah:
-          Apabila dilakukan dalam satu akad dan belum menggaulinya, maka akad keduanya batal. Karena tidak ada yang lebih utama dari selainnya, sehingga tidak ada hak mahar bagi keduanya. Adapun ketika telah menggauli, maka hukumnya sebagaimana pada umumnya.
-          Apabila dilakukan dalam dua akad yang berbeda, dan diketahui akad pertama dan kedua, maka batal akad yang kedua dan akad yang pertama sah.
c.       Ketentuan menurut Hanabilah[11]:
-          Apabila dilakukan dalam satu akad dan batal akad keduanya, maka pemisahan tersebut atas nama thalaq. Akan tetapi, jika suami tidak mentalaknya, maka hakim berhak men-faskh-kannya. Kemudian apabila faskh terjadi sebelum menggauli, maka tidak ada mahar bagi keduanya. Karena akad yang rusak itu keberadaannya seperti kealpaannya. Namun, apabila terjadi setelah digauli, maka bagi mereka mahar mitsl.
-          Apabila akad dilakukan secara terpisah, akan tetapi tidak diketahui urutan pernikahannya, karena belum terjadi jima’, maka baginya mentalaknya sekaligus. Apabila tidak mau mentalaknya, maka hakimlah yang berhak memisahkan keduanya. Dan wajib menberikan setengah mahar kepada salah satunya. Karena, seharusnya ada salah satu dari mereka yang akadnya sah. Hal ini dilakukan dengan mengadakan undian. Siapa yang jatuh pada undian tersebut, maka ia berhak mendapat setengah mahar, kecuali apabila sudah menggauli keduanya, maka baginya mahar mitsl. Apabila sudah menggauli salah satunya, maka baginya mahar yang sempurna.
-          Apabila akad dilakukan secara terpisah, dan diketahui urutan pernikahannya, maka akad yang pertama sah, sedangkan yang kedua batal.
            Di dalam fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuuts wal Iftaa’: (18/235) disebutkan bahwa, “Menggabungkan dua wanita bersaudara dalam satu akad hukumnya adalah haram berdasarkan  nash-nash yang jelas dari Al-Qur’an dan Sunnah, baik keduanya saudara kandung, saudara seayah atau seibu, saudara senasab atau sesusuan, yang merdeka ataupun hamba sahaya atau salah satu dari keduanya hamba sahaya dan yang lainnya sorang yang merdeka. Hal ini merupakan hasil ijma’ dari kalangan para sahabat r.a, tabi’in beserta ulama salaf. Ibnu Mundzir juga meriwayatkan tentang ijma’ dalam pembahasan tersebut”.[12]
Akan tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, di dalam fatwanya ia berkomentar bahwa bolehnya menggabungkan mereka ketika status keduanya saudara sesusuan. Menurutnya, mereka adalah ajnabiyah. Berbeda dengan pendapat ulama’ lainnya yang tetap mengharamkan hal itu sebagai bentuk kehati-hatian.[13] Begitu pula dengan komentar Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. [14]

Hikmah haramnya menikahi sekelompok saudara perempuan dalam satu ikatan

Mengingat, tidak ada batas hubungan kecintaan dan ikatan kekeluargaan yang ada pada sekelompok saudara dalam ikatan darah. Akan tetapi, sekiranya dikumpulkan dalam satu ikatan pernikahan, terkadang menjadi bara api kecemburuan. Disebabkan karena fitrah perempuan ingin dicintai sepenuhnya. Maka, apa yang terjadi apabila hal ini terjadi pada sekelompok saudara dalam ikatan darah? Bahkan akan menimbulkan terputusnya silaturrahmi dan saling berjauhan, tidak mengenal satu sama lain, sehingga turun-temurun kepada anak keturunan mereka yang menimbulkan dendam beruntun.[15]
            Oleh sebab itu, perbuatan demikian merupakan salah satu penyebab terputusnya silaturrahim, karena para wanita yang dimadu secara tradisi mereka akan berselisih yang menimbulkan terputusnya ikatan silaturrahmi, dan ini merupakan perbuatan haram. Rasulullah mengisyaratkan, penyebab pelarangan tersebut dalam riwayat Ibnu HIbban dan lainnya;
إِنَّكُمْ إِذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ أَرْحَامَكُمْ
            “Sesungguhnya jika kalian melakukan hal tersebut, maka kalian telah memutus tali silaturrahim[16]

Pengecualian

                Seorang lelaki boleh menikahi saudara perempuan atau bibi dari istri. Dengan syarat, sudah terlepas ikatan pernikahan dengan istri pertama. Seperti terjadinya perceraian mutlak atau terjadi kematian pada istri pertama. Karena sudah tidak ada hubungan lagi antara keduanya, maka dibolehkan bagi saudara mantan istri untuk dinikahi.[17]
Syaikh Bin Baaz di dalam fatwanya, “Tidak diperbolehkan bagi seorang lelaki yang sudah beristri kemudian menikahi keponakan dari istrinya tersebut selama istrinya masih dalam ikatannya. Karena Rasulullah j melarang mengumpulkan (menghimpun) seorang wanita dengan bibinya baik dari pihak ayah maupun ibunya. Sebagaimana para ulama’ sepakat atas haramnya hal tersebut yang ditinjau dari tinjauan hadits shahih, kecuali apabila sang bibi sudah meninggal atau telah dicerai dan usai menjalani ‘iddahnya, maka diperbolehkan menikahi keponakan tersebut, karena sudah tidak berkumpul kembali.[18]

III.             Kesimpulan  

Ulama sepakat bahwa hukum menikahi saudara perempuan ipar dan bibi dari istri adalah haram, baik senasab maupun sesusuan. Berdasarkan alasan logika, apabila satu kerabat dikumpulkan sekaligus dalam satu ikatan pernikahan, dikhawatirkan akan menimbulkan terputusnya silaturrahim, karena tidak jarang di dalam keluarga ada problematika besar. Pengecualian, jika istri pertama telah dicerai atau meninggal, maka boleh suami menikahi saudara mantan istri, karena sudah tidak ada hubungan.






DAFTAR PUSTAKA
,Al Quran dan Terjemahnya,
Abu Zahrah, Muhammad, Al-Ahwal asy-Syakhshiyyah,  (ttp: Dar al-Fikr al-‘Araby, t.t)
Al-‘Adawy, Musthafa, Jâmi li Ahkâmin Nisâ’, (Kairo: Dâr Ibnu ‘Affan, cet: pertama, tahun: 1429 H / 2015 M)
Al-‘Afify, Muhammad bin Manshûr, Fatâwa al-Mar’ah al-Muslimah, (Kairo: Dâr Ibnu Hasyim, cet: pertama, 2002)
Al-‘Ainaini, Badron Abu, Ahkam az-Zawaj wa ath-Thalaq fi al-Islam Bahtsu Tahlily wa Dirasah Muqaranah, (Kairo: Mathba’ah Dar at-Ta’lif, cet: kedua, tahun: 1961)
Al-Asyqar, Sulaiman, Ahkâm az-Zawâj fî Dhau-i al-Kitâb wa as-Sunnah, hlm: 251,(Yordania: Dâr an-Nafais, cet: pertama, tahun: 1418 H/1998 M)
Al-Hanbaly, Abu Farraj ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab, al-Qawâid al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet: pertama,  tahun: 2008)
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Jami’ al-Fiqh, (Al-Manshûrah: Dar al-Wafâ’, cet: pertama, tahun: 1421 H / 2000 M)
Al-Jaza’iri, Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim, penerj. Andi Subarkah, Lc, (Solo: Insan Kamil, 2008)
Al-Jaziry, Abdurrahman, Kitâb al-Fiqih ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet: Ke-4, tahun: 2011)
Al-Jundy , Ahmad Nashr, Al-Ahwâl asy-Syakhshiyyah fî al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Ma’arif, t.t)
Alu Bassam, Abdullah, Taisîr al-‘Alâm Syarh ‘Umdatul Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cet: ke-4, tahun: 2012 M)
An-Nawawy, Abu Zakaria Yahya bin Muhahmmad, Shahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwy, (Kairo: Dâr al-Hadits, cet: ke-4, tahun: 1422 H/2002 M)
Ash-Shibagh , Muhammad Mutawally, Al-Idhah fi Ahkam an-Nikah, 76, (ttp: Maktabah Madbuly, t.t)
Az-Zuhaily, Wahbah, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikr, Cet: Ke-10, tahun: 2007)
Fairukh , ‘Umar, Al-Usrah fi  asy-Syar’I  al-Islâmy Ma’a Lamhatin min Târikh at-Tasyri’ ilâ Dzuhûr al-Islam, 84, (Beirut: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah wa al-Maktabah al-‘Ashriyyah, cet: pertama, tahun: 1370 H/1951 M)
Ibnu Qudamah, Abu Muhammad Abdillah bin Ahmad bin Muhammad, Al-Mughny Syarhu Mukhtashar aal-Khiraqy, (Riyadh: Dâr ‘Alam al-Kutub, t.t)
Lajnah Daimah Lil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’,(vers.e-book)
http://audio.islamweb.net (diaskes pada tanggal 01 November 2015, pukul 06:49)
http://fatwa.islamweb.net (diaskes pada tanggal 28 Oktober 2015, pukul 17:28)
http://islamqa.info/ar/147367 (diaskes pada tanggal 07 Oktoer 2015, pukul 15:47)
www.binbaz.org.sa/mat/1568 (diaskes pada tanggal 07 Oktober 2015, pukul 20:08)



[1] Abu Farraj ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hanbaly, Al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyyah, cet: pertama, tahun: 2008), hlm: 396-397
[2] Abu Bakar al-Jaziry, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet: 4, Tahun: 2011),  jilid: 4, hlm: 66.
[3] Abu Farraj ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hanbaly, Al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyyah, cet: pertama, tahun: 2008), hlm: 396-397
                [4] Yang dimaksud bibi hakiki adalah saudara perempuan dari ayah atau ibu
                [5] Yang dimaksud bibi majazi adalah saudara perempuan dari kakek atau nenek sampai ke atas
                [6] Imam an-Nawawy, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawy, (Kairo: Dar al-Hadits, cet: ke-4, 1422 H/2002 M),  jilid: 16, hlm: 205-207,
                [7] Mushthafa al-‘Adawy, Jâmi li Ahkâm an-Nisâ’, (Kairo: Dâr Ibnu ‘Affan, cet: pertama, tahun: 1429 H / 2015 M),  hlm: 110-112, Ibnu Qudamah, Al-Mughny Syarh Mukhtashar al-Khiraqy, (Riyadh: Dâr ‘Alam al-Kutub, t.t),  jilid: 9, hlm: 519, Sulaiman Al-Asyqar, Ahkam az- Zawaj fi Dhau-i al-Kitab wa as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet: 4, tahun: 2011), hlm: 251.
[8] Sulaiman al--Asyqar, Ahkam az-Zawaj, (Yordania: Dar an-Nafais, cet: Pertama, tahun: 1418 H/1998 M), hlm: 252. Abu Bakar al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet: 4, Tahun: 2011), jilid: 4, hlm: 66-71.
[9] Badron Abu Al-‘Ainaini,, Ahkam az-Zawaj wa ath-Thalaq fi al-Islam Bahtsu Tahlily wa Dirasah Muqaranah, (Kairo: Mathba’ah Dar at-Ta’lif, cet: kedua, tahun: 1961), hlm: 101, Abu Bakar al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet: 4, Tahun: 2011),  jilid: 4, hlm: 66.
[10] Abu Bakar al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, , (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet: 4, Tahun: 2011), jilid: 4, hlm: 66-71
[11] Abu Bakar al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet: 4, tahun: 2011), jilid: 4, hlm: 71,
                [12] Lajnah Daimah Lil Buhuuts Wal Iftaa’: (18/235) www.Islamspirit.Com
                [13] http://Audio.Islamweb.Net di dalam  Syarh Zaadil Mustaqni’ Lisy Syaikh Khalid Bin ‘Ali Al-Musyaiqih, Kitab Nikah,Jilid 5, Fil Jam’i Baynal Mar’ati Wa ‘Ammatiha Au Khalatiha.
[14] Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal asy-Syahshiyah,  (Darul Fikr Al-‘Araby), hlm: 86
                [15] Ibnu Qudamah, Al-Mughny Syarh Mukhtashar al-Khiraqy, (Riyadh: Dâr ‘Alam al-Kutub, t.t),  jilid: 9, hlm: 519, Sulaiman Al-Asyqar, Ahkam az- Zawaj fi Dhau-i al-Kitab wa as-Sunnah, (Yordania: Dâr an-Nafais, cet: pertama, tahun: 1418 H/1998 M), hlm: 252, Badron Abu al-‘Ainaini, Ahkam az-Zawaj wa ath- Thalaq fi al-Islam Bahtsu Tahlily wa Dirasah Muqaranah, (Kairo: Mathba’ah Dar at-Ta’lif, cet: kedua, tahun: 1961) hlm: 101,
                [16] Wahbah az-Zuhaily, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikr, Cet: Ke-10, tahun: 2007), jilid:9, hlm: 6662
[17] Wahbah az-Zuhaily, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikr, Cet: Ke-10, tahun: 2007), jilid:9, hlm: 6662
                [18] www.Binbaz.Org.Sa/Mat/1568

Komentar

Postingan populer dari blog ini

wadhih ad-Dalalah

Bagaimana Kita Tahu Terjadi Dislokasi Tulang Belakang?