MAHKUM 'ALAIH
MEMAHAMI MAKNA MUKALLAF DAN KONSEKWENSINYA DI DALAM REALISASI HUKUM ISLAM
A.
Pendahuluan
Hukum dalam Islam disebut
syariat Islam. Di dalam hukum tentunya ada pembuat hukum dan pelaksana hukum. Adapun sang
pembuat hukum atau syariat ini adalah al-Hâkim, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Yang
menetapkan hukum bagi
hambanya. Pelaksana hukum disebut
juga dengan al-Mahkûm’alaih yang menjadi
sasaran yang dikenai hukum yang telah ditetapkan oleh sang pembuat syariat. Merupakan kewajiban bagi al-Mahkûm ‘alaih atau mukallaf secara
langsung untuk melaksanakan hukum dari sang pembuat syariat.
Seorang mukallaf tentunya dimintai suatu pertanggungjawaban dalam
melaksanan perintahnya. Di dalam pembahasan berikut, akan kami kupas tuntas
mengenai siapa itu mukallaf? Apa yang menjadi syarat bagi mukallaf? Bagaimana
tingkat kelayakan seorang mukallaf dalam melaksanakan hukum syar’i?
B.
Pembahasan
1. Definisi al-Mahkûm ‘Alaih
Al-Mahkûm ‘alaih, adalah seseorang yang
perbuatannya berkaitan dengan perintah sang pembuat syariat (Allah) atau
hukumnya.[1]
Atau disebut juga dengan mukallaf , yaitu orang yang dikenai beban yang
menjadi satu obyek dari sebuah syariat.
2. Syarat al-Mahkum ‘Alaih
Perbuatan mukallaf dapat dianggap sebagai perbuatan yang sah bilamana
memiliki syarat dan ketentuan berikut ini, diantaranya:
Pertama, seorang mukallaf tentunya mampu
memahami dalil hukum yang diberatkan kepadanya. Karena taklif
(pembebanan) adalah sebuah perintah, dan perintah kepada seseorang yang tidak
berakal dan tidak memahaminya adalah hal yang mustahil. Kemampuan memahami
dapat terealisasi melalui akal, karena akal adalah sebuah alat untuk memahami dan konsepsi. Oleh sebab itu, dengannya sebuah
taklif dapat dilaksanakan.[2] Karena
itu, akal merupakan tiang atau asas dalam taklif, karena taklif adalah sebuah
perintah Allah yang tidak mungkin tercapai tujuan pemahamannya kecuali dengan
akal dan memahami maknanya.
Seorang yang dapat memahami taklif tentunya adalah mukallaf yang baligh.
Adapun kriteria baligh dapat ditandai dengan mencapai usia lima belas tahun,
sebagaimana Rasulullah mengutus Usamah bin Zaid menjadi panglima perang
diusianya yang mencapai baligh, yaitu lima belas tahun. Begitu juga dengan
tanda-tanda perubahan pada fisik, seperti tumbuhnya rambut di bagian-bagian
tertentu. Namun terkadang, seorang anak perempuan dapat ditandai dengan
keluarnya darah haidh.
Seorang anak kecil yang dapat membedakan baik dan buruknya terhadap
sebagian sesuatu, masih belum dikatakan sebagai mukallaf, karena masih dianggap
kurang sebagaimana kriteria mukallaf pada umumnya. Hal ini
menunjukkan bahwa diangkatnya taklif sebelum mencapai usia baligh. Sebagaimana
hadits Rasul:
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: النَّائِمُ حَتَّى يَسْتَيْقِضَ, وَ الصَّبِيُّ حَتَّى
يَحْتَلِمَ, وَ الْمَجْنُوْنُ حَتَّى يَفِيْقَ.
“Diangkatnya pena dari tiga kondisi; pertama, orang yang tidur sampai ia
bangun, kedua, bayi atau anak-anak sampai ia bermimpi (baligh) dan orang gila
sampai ia sadar.”[3]
Kedua, seorang mukallaf
seharusnya memiliki ahliyyah (kemampuan) terhadap sesuatu yang
dibebankan kepadanya. Adapun orang yang tidak memiliki ahliyah atau tidak
sempurna tidak dipaksakan untuk menjadi mukallaf atau berbuat semampunya,
sebagaimana firman Allah:
لَا
يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak akan memberatkan pada suatu jiwa kecuali tergantung
kemampuannya.”
Muhammad
Khudhary Bek menyebutkan, bahwa tingkatan kehidupan manusia memiliki empat fase[4],
diantaranya:
a.
Fase janin
b.
Fase infishal (bayi) sampai
kanak-kanak atau tamyiz
c.
Fase tamyiz sampai baligh
d.
Fase setelah baligh (dewasa)
3. Pengertian ahliyyah
Secara etimologi ahliyyah adalah kelayakan,
kecakapan atau kemampuan. Sebagaimana
firman Allah dalam QS. Al-Fath: 26,
وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا
“Dan adalah mereka yang berhak denga kalimat
takwa itu dan patut memiikinya”.
Dengan memahami ayat di atas, maka kemampuan dalam hak memiliki kalimat
takwa dapat terarahkan dengan akal dan pemahaman.
Menurut ulama fiqih, ahliyyah adalah kecakapan atau kemampuan
seseorang untuk mendapatkan hak dan melaksanakan tindakan maupun kewajibannya
terhadap hukum syar’i. Ahliyyah terbagi menjadi dua:
1.) Ahliyatul Wujûb (kecakapan untuk dikenai
hukum)
Ahliyatul wujûb adalah kecakapan yang
nyata dengan keberadaan manusia, baik sudah baligh maupun masih bayi, dewasa
maupun belum dewasa, lelaki maupun perempuan, merdeka maupun budak. Akan tetapi, ahliyah terhadap orang merdeka lebih sempurna dibanding budak. Ahliyah ini berlangsung
dari pembentukan manusia sampai ia mati.[5] Ulama
ushul membagi ahliyyatul wujûb menjadi dua bagian:
a.
Ahliyatul wujûb an-Nâqishah
Adalah kecakapan yang
dimiliki manusia ketika dalam fase janin di dalam perut ibunya. Ia mendapatkan
hak dari orang yang melaksanakan kewajiban, tentunya janin dalam keadaan hidup. Contohnya, warisan, wasiat dan beberapa hak lainnya
seperti wakaf dan nasab. Akan tetapi, ia tidak berhak mendapatkan hibah,
shadaqah ataupun jual beli, meskipun wali yang melaksanakan. Tidak pula ia
terbebani atas hartanya untuk menafkahi kerabatnya.[6]
Adapun sebab nâqish-nya ahliyah
diantaranya; pertama, karena janin meerupakan bagian dari ibunya.
Kedua, karena kehidupan janin merupakan jiwa yang membutuhkan bantuan
ekternal dari ibunya.[7]
b.
Ahliyatul wujûb al-Kâmilah
Adalah kecakapan yang dimiliki oleh manusia ketika terlahir dari
perut ibunya sampai fase kematian.[8]
Di mana seseorang telah sempurna mendapatkan haknya dan kewajibannya.
Contohnya, seorang anak kecil yang hidup tetap dikenai kewajiban zakat. Padahal
ia belum sempurna akalnya dalam memahami taklif hukum. Maka dikeluarkan dari
hartanya oleh walinya yang menunaikannya.
2.) Ahliyatul âdâ‘ (kecakapan untuk berbuat hukum)
Ahliyatul âdâ‘ adalah sebuah kecakapan
atau kepantasan seseorang yang dianggap sempurna dalam menunaikan suatu
perbuatan dan perkataan berdasarkan yang dikehendaki secara syariat. Sehingga
ia wajib menunaikan sebuah taklif tersebut.[9]
Yang miliki oleh seseorang yang sedang mencapai fase tamyiz sampai masa setelah
balighnya.[10]
Ulama ushul membagi ahliyyatul âdâ‘
menjadi dua bagian:
a.
Ahliyatul âdâ‘ an-Nâqishah
Adalah kecakapan yang
dimiliki seseorang pada fase tamyiz (anak-anak) sampai mencapai baligh.[11]
Di dalam literatur kecakapan ini, terdapat dua perkara penting yang ditetapkan
kepadanya.
Pertama, haknya terhadap Allah. Maksudnya, jika ia mengucapkan suatu kebaikan,
maka kebaikan itu tidak berpengaruh kepada keburukan, seperti ucapan iman. Jika
yang dikatakan adalah suatu keburukan, maka tidak berpengaruh pula keburukan
itu pada kebaikan, seperti kufur.[12]
Contonya: seorang anak kecil mengucapkan kalimat kufur, maka ucapannya tidak
dapat membawanya kepada kekufuran.
Kedua, hak terhadap hamba terbagi menjadi tiga macam:
-
Tindakan yang bermanfaat, yang akan berakibat masuknya sesuatu ke dalam
kepemilikannya tanpa ada timbal balik. Contonhya: seorang anak kecil menerima
pemberian atau hadiah,[13]
meskipun tanpa seizin wali. Hal ini sah jika dilakukan oleh anak kecil.
-
Tindakan yang berdampak negatif, yang berakibat keluarnya sesuatu dari
kepemilikan tanpa ada timbal balik. Contohnya: seorang anak kecil mentalak
istrinya atau melakukan transaksi jual beli tanpa seizin walinya. Hal ini tidak
sah jika tanpa seizin wali, atau wasiat anak kecil atau orang mabuk adalah
bathil.
-
Tindakan yang berkaitan antara positif dan negatif, yang akan berpengaruh
antara untung atau rugi. Contohnya: jual beli, pemberian atau pernikahan.
Karena di dalamnya terdapat kemungkinan antara untung atau rugi.[14]
Abu Zahrah mengungkapkan bahwa, jika batal, maka batalnya tidak secara mutlak.
Namun, keabsahannya bergantung kepada izin wali.[15]
b.
Ahliyatul âdâ’ al-Kâmilah
Setelah seorang anak
mencapai masa balighnya, maka telah sempurna ahliyahnya, yaitu kecakapannya
dalam menunaikan segala hal yang disyariatkan.
Ahliyatul âdâ’ al-Kâmilah adalah kecakapan yang ditetapkan bagi anak yang telah bermimpi (baligh)
dan berakal. Baligh, adakalanya ditandai dengan ihtilam atau haidh, atau usianya
yang genap mencapai lima belas tahun
menurut jumhur fuqaha. Tatkala mencapai usia tersebut, seseorang dinyatakan
layak untuk menjalani seluruh pembebanan syar’i, maka wajib melaksanakannya dan
berdosa jika ditinggalkan, jika itu termasuk ibadah. Namun, tetap sah jika
dalam ranah akad dan perdagangan.[16]
4. ‘Awâridl al-Ahliyah (halangan atas kemampuan)
Di dalam literatur kehidupan manusia, tampaknya tidak luput dari berbagai
situasi dan kondisi yang mempengaruhi adanya taklif yang dijalaninya.
Kemungkinan halangan tersebut dapat bersifat sesuatu yang dapat menghilangkan
taklif, mengurangi maupun merubah sebagian hukumnya. Sesuatu yang dapat
mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan suatu hukum disebut juga dengan ‘Awâridl
al-Ahliyah (halangan atas kemampuan untuk melaksanakan sesuatu). Halangan
ini berlaku pada seseorang yang telah mencapai tingkat ahliyahnya yang paling
tinggi, yaitu Ahliyatul âdâ’ al-Kâmilah, di mana seseorang telah sempurna
dikenai taklif syar’i. Halangan tersebut memiliki dua kriteria,
diantaranya:
1) Al-‘Awâridh As-Samâwiyah
Adalah halangan yang
bersifat tidak timbul dari diri mukallaf, yang dengannya ia tidak
mampu berkehendak menghadapinya.[17] Diantara
contohnya adalah gila, sakit, idiot,
lupa, tidur atau pingsan, haidh, nifas dan kematian.
Gila adakalanya
selamanya, adakalanya hanya pada waktu tertentu. Orang yang gila selamanya,
menghiilangkan seluruh taklif yang ada pada dirinya, hanyasanya ia mendapat
hak-hak yang harus dipenuhinya, sseperti hak waris dan hak nafkah dari
kerabatnya. Sedangkan gila yang terjadi pada waktu tertentu, ia masih memiliki
beban taklif pada saat ia sadar. Begitu juga dengan orang idiot.
Lupa adalah
ketidakmampuan mengingat sesuatu yang ada dalam pikirannya secara tidak
disengaja. Sifat ini berkaitan dengan hak Allah dan manusia, dimana terkait
dengan hak Allah diangkatnya dosa jika tidak disengaja oleh dirinya. Sementara
hukum yang terkait dengan hak manusia, masih dikenai pertanggungjawabannya
terhadap kesalahan yang yang dilakukan.Orang yang tidur sama dengan orang
pingsan. Keduanya sama-sama tidak memiliki hak taklif pada saat itu, dan harus
menggantinya taklif yang ditinggalkannya.
Orang yang haidl dan
nifas tidak menghilangkan seluruh ahliyah. Hanyasanya kaduanya tidak
diperbolehkan tawaf, shalat, puasa dan menyentuh mushaf. Akan tetapi harus
tetap mengganti puasanya yang terringgal pada saat ia suci. Berbeda dengan
shalat, tidak perlu menggantinya dari yang ia tinggalkan, sebab apabila shalat
dikerjakan akan memberatkan wanita dengan banyaknya jumlah rekaat yang
ditinggalkan.
Orang yang mati,
menghilangkan seluruh taklif jasmani dan keduniaannya. Namun, ada sebagian
taklif yang masih mengikuti kematiannya, seperti hutang dan amalan ibadahnya
yang senantiassa mengirinya di alam kubur.
2.) Al-‘Awâridh Al-Mukatasâbah
Adalah halangan yang
bersifat timbul dari diri mukallaf sendiri atau karena
kehendak sendiri atau orang lain. [18] Contohnya, bodoh, mabuk, ketidaktahuan akan hukum islam,
terpaksa, safar.
Orang yang mabuk karena
dirinya sendiri, maka ia berdosa dan dikenai hukum. Berbeda dengan orang mabuk
karena dipaksa
Terhadap dua ‘awaridh di
atas, keduanya dapat bersifat menghilangkan, mengurangi atau merubah pada
sebagian ahliyatul ‘ada seorang mukallaf, di antaranya:
a.
Halangan yang bersifat
menghilangkan
Pada sebagian
‘awaridh yang dapat menghilangkan kelayakan seseorang untuk bertindak, seperti
gila, tidur dan pingsan. Maka, secara hakikat mereka tidak mendapat kelayakan
untuk melakukan sesuatu dan seluruh tindakannya tidak berpengaruh terhadap
syari’at pada saat itu.[19]Di
mana seluruh kewajiban maliyah[20]
bagi orang gila, maka dibebankan kepada walinya[21],
seperti zakat maka walilah yang menunaikannya atas hartanya.
Kewajiban badaniyah[22]
dan maliyah bagi orang yang tidur atau pingsan, maka dilaksanakan setelah keduanya sadar[23], contohnya orang yang ketiduran atau mabuk kemudian tertinggal waktu
shalatnya, maka ia harus tetap menggantinya setelah ia terbangun, karena ia
dalam kondisi tidak sadar.
b.
Halangan yang bersifat mengurangi
Halangan yang
bersifat mengurangi ini tetap tidak menghilangkan ahliyahnya. Seperti yang
terjadi pada anak kecil yang sudah mengetahui
sesuatu dan bisa membedakan sesuatu, maka
sebagian tindakannya sah dan tidak berpengaruh terhadap dirinya jika ia berbuat maksiat, contohnya anak yang mumayyiz, jika ia
berpuasa maka sah puasanya dan jika ia membunuh seseorang, maka tidak ada hadd
baginya. Berbeda dengan orang yang tidak mengetahui sama sekali atau tidak
normal, seperti orang gila atau orang yang mabuk, maka batallah segala
tindakannya,[24]
seperti orang mabuk yang megucapkan kalimat cerai terhadap istrinya, maka tidak
sah ucapannya.
c.
Halangan yang besifat merubah
Halangan ini
dapat merubah hukum pada aslinya untuk kemaslahatan tertentu.
B.
Kesimpulan
Dari pemaparan
di atas, secara singkat mahkum ‘alaih adalah orang yang memenuhi kriterianya
sebagai mukallaf dalam memenuhi dan menjalankan syariat-nya sebagai bentuk
ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’.
Daftar pustaka
Al-Quran dan Terjemahnya
Abu Zahrah,Muhammad,
Ushûl al-Fiqh
Al-Asyqâr,Muhammad Sulaiman. Al-Wâdhih fi Ushûl al-Fiqh.
As-Sulamy,‘Iyadh
bin Namy. Ushûl al-Fiqh Alladzî
Lâ yasa’u al-Faqîh Jahluhu. (t.t,
t.c, t.t.p)
Az-Zuhaily,Wahbah.
Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh. (Beirut: Dâr al-Fikr. Cet: 1. Tahun: 1994 H)
Bek,Muhammad
Khudhary. Ushûl al-Fiqh. (Mesir: Al-Maktabah at-Tijâriyah al-Kubrâ. Cet:
6. Tahun: 1389 H/1969 M).
Husain,Ahmad
Farraj, dk. Ushûl al-Fiqh al-Islâmy. (Iskandaria: Mu‘assasah ats-Tsaqâfah al-Jâmi’iyyah. Cet:_. Tahun:
1410 H/1990 M)
Zaidan,Abdul
Karim. Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh.
[1] Wahbah az-Zuhaily. Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh. (Beirut: Dâr
al-Fikr. Cet: 1. Tahun: 1994 H), hlm: 155
[3] Ahmad Farraj Husain, dk. Ushûl al-Fiqh al-Islâmy.
(Iskandaria: Mu‘assasah ats-Tsaqâfah al-Jâmi’iyyah. Cet:_. Tahun: 1410 H/1990
M). hlm: 494
[4] Muhammad Khudhary Bek.
Ushûl al-Fiqh. (Mesir:
Al-Maktabah at-Tijâriyah al-Kubrâ. Cet: 6. Tahun: 1389 H/1969 M). hlm: 91
[6] Wahbah az-Zuhaily. Al-Wajîz fî Ushûl
al-Fiqh. (Beirut: Dâr al-Fikr. Cet: 1. Tahun: 1994 H), hlm: 157
[8] ‘Iyadh bin Namy as-Sulamy. Ushûl al-Fiqh
Alladzî Lâ yasa’u
al-Faqîh Jahluhu. (t.t, t.c, t.t.p). Hlm: 80
[11] ‘Iyadh bin Namy
as-Sulamy. Ushûl al-Fiqh Alladzî
Lâ yasa’u al-Faqîh Jahluhu. (t.t,
t.c, t.t.p). Hlm: 80
[12] Muhammad Khudhary Bek. Ushûl
al-Fiqh. (Mesir: Al-Maktabah at-Tijâriyah al-Kubrâ. Cet: 6. Tahun: 1389
H/1969 M). hlm: 94
[14] Ibid., Wahbah az-Zuhaily. Al-Wajîz fî Ushûl
al-Fiqh. (Beirut: Dâr al-Fikr. Cet: 1. Tahun: 1994 H), hlm: 157
[17] Ibid. Muhammad Khudhary Bek. Ushûl
al-Fiqh. (Mesir: Al-Maktabah at-Tijâriyah al-Kubrâ. Cet: 6. Tahun: 1389
H/1969 M). hlm: 94
[23] Ibid. Muhammad Khudhary Bek. Ushûl
al-Fiqh. (Mesir: Al-Maktabah at-Tijâriyah al-Kubrâ. Cet: 6. Tahun: 1389
H/1969 M). hlm: 96
Komentar