sejarah perkembangan fiqih islam
SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH ISLAM
Oleh: Anisatun Nur Hidayah
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur
hanya milik Allah semata, tiada satupun yang bisa menjadi sekutu bagi-Nya,
Dialah pemilik seluruh ilmu pengetahuan. Yang telah menganugrahkan ribuan
nikmat kepada hamba-Nya, diantaranya ialah nikmat akal fikiran. Semua nikmat
yang di berikan Allah kepada hamba-Nya hanya bisa dirasakan oleh hamba-Nya yang
senantiasa bersyukur kepada-Nya.
Shalawat dan Salam
senantiasa tercurah kepada suri tauladan umat manusia, seorang pribadi yang
sangat bijaksana, penutup para Nabi dan Rasul Allah Subhaanahu Wata’ala, dialah
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pembawa risalah suci bagi seluruh
umat manusia.
Dengan izin
Allah Subhaanahu Wata’ala akan saya paparkan makalah dengan judul
“SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH ISLAM” untuk memenuhi tugas akademik. Saran
yang membangun sangatlah diharapkan oleh penulis untuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang ada di dalam makalah ini.
Penulis
Anisatun
Nur Hidayah
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu Fiqih merupakan ilmu
yang paling bermanfaat pada masa kini, karena mempelajari ilmu fiqih berarti
mempelajari semua dimensi kehidupan yang sangat dibutuhkan oleh semua manusia. Fiqih mengatur
tiga hubungan utama manusia, yaitu hubungan dengan sang pencipta, dengan diri
sendiri dan masyarakat. Hukum-hukumnya mencakup masalah akidah, ibadah, akhlaq
dan mu’amalah, sehingga ketika mengamalkannya hati terasa hidup serta ketika
melaksanakan suatu kewajiban selalu merasa diawasi Allah Subhaanahu Wata’ala.
Oleh karena itu apabila pengamalan dilakukan dengan benar, maka ketenangan,
keimanan, kebahagiaan serta kestabilan akan terealisasikan di dalam hati
seseorang.
Ketika seseorang hendak mempelajari
ilmu fiqih secara mendetail, maka merupakan suatu keharusan mempelajari sejarah
perkembangan fiqih islam terlebih dahulu. Dalam sejarah perkembangan fiqih akan
dijelaskan periode-periode fiqih, dimulai dari periode Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasalam dan berakhir pada periode empat Imam Madzhab. Selain itu,
dalam perjalanan perkemkembangan fiqih pernah terjadi masa kemunduran dan
kebangkitan fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ta’rif Fiqih
*
Secara Bahasa
Menurut Ahli Ushul: fiqih (الفقه) bermakna faham atau mengerti (الفهم)[1],
sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wata’ala:
قَالُوْا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِمَّا
تَقُوْلُ (سورة هود: 91)
Artinya: “Mereka
berkata: Hai Syu’aib kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan
itu”[2]
Menurut Ulama’ Salaf: fiqih merupakan persamaan kata dari ad-Dien dan
as-Syari’ah. Sedangkan menurut Fuqoha’: fiqih adalah ilmu untuk mengetahui
ilmu syar’i amaly.[3]
*
Secara Istilah
Menurut Ahli
Ushul: fiqih ialah “hukum-hukum praktis dalam syari’at yang di ambil dari
dalil-dalil terperinci.” Sedangkan menurut Ulama’ Salaf : “ilmu untuk
mengetahui hukum-hukum syar’i amaly yang dhohir.”[4]
B.
Sejarah
Perkembangan Fiqih Islam
Sejarah
perkembangan fiqih terbagi menjadi 4 periode, yaitu:
1.
Periode Rasulullah,
yaitu periode pembentukan dan pertumbuhan.
2.
Periode
Shahabat Rasulullah, yaitu periode penjelas, pencerah dan penyempurna.
3.
Periode
Kodifikasi, periode pembukuan dan tampilnya para imam mujtahid.
4.
Periode Taklid,
yaitu periode statis dan kebekuan.
Di dalam
makalah ini akan saya paparkan penjelasan dari setiap periode, diantaranya:
1.
Periode
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalam
a. Keadaan Arab[5]
Sebelum Islam
Pada abad ke-6 Masehi –sebelum bi'tsah-, dunia dikuasai oleh dua
kekuatan adidaya yang terletak di dekat Jazirah Arab. Salah satunya
adalah Persia yang menguasai daerah timur laut. Yang satunya lagi adalah Romawi
yang menguasai utara dan barat. Kedua Negara adidaya ini memiliki peradaban
masing-masing dalam pengetahuan dan perundang-undangan. Mereka juga mempunyai
agama untuk dianut.[6]
Bangsa Arab
sendiri kebanyakan adalah pengembara yang tinggal di padang pasir, masyarakat
mereka terikat aturan kesukuan, budaya mereka turunan dari nenek moyang mereka.
Pemimpin mereka adalah pembesar-pembesar kabilah yang merelai perselisihan di
antara mereka. Pembesar kabilah memiliki wewenang untuk memerintah dan melarang
anggota kabilah.[7]
Sebagian dari
bangsa Arab ada yang tinggal di kota seperti Makkah, Yatsrib, dan Thaif. Mereka
bercocok tanam, dan sebagian lain ada yang sudah mengenal produksi barang. Dari
sinilah mereka mulai mengenal dasar mu'amalah dan hubungan perdagangan. Pasar
mereka yang besar dan berkumpulnya mereka ketika haji membantu kemajuan
peradaban mereka. Kaum Quraisy sendiri terkenal di Makkah sebab perdagangannya.
Mereka memiliki hubungan perdagangan dengan Suriah (Romawi), Iraq (Syam), dan
Yaman tiap musim dingin dan panas.
Bangsa Arab
tidak memiliki perdaban pengetahuan sendiri. Tetapi perselisihan antara Persi
dan Romawi yang terus-menerus berpengaruh pada Bangsa Arab.[8]
Yahudi
diam-diam ada pula di Negara Arab. Mereka mendiami daerah Taima', Fidak,
Khaibar, dan Yatsrib. Sebagaimana Nashrani yang mengambil tempat di Najran.
Perdagangan pemerintahan Persi dan Romawi, serta kaum Yahudi dan Nashrani
menjadi perantara masuknya agama-agama dan pengetahuan bangsa tetangga ke
Jazirah Arab.Padahal Bangsa Arab telah mewarisi sesuatu dari agama Nabi Ibrahim
u dan Nabi
Isma'il u.
Hanya saja
tabiat mereka yang kasar menghalanginya. Sebab lain yang menghalangi adalah
karena mereka banyak yang tidak tahu tersebarnya paham watsaniyah (menyembah
berhala). Oleh karenanya, mereka hidup dalam kebingungan dan kebimbangan.[9]
Demikianlah keadaan Bangsa Arab sebelum Islam.
b.
Tasyri’ pada
masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Pada periode ini kekuasaan pembentukan hukum
berada di tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dengan adanya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka umat Islam saat itu,
apabila menghadapi suatu peristiwa, atau terjadi sengketa, atau terlintas
pertanyaan maka mereka akan bertanya langsung kepada Rosul Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. Hukum-hukum yang keluar dari beliau menjadi tasyri’ bagi
kaum muslimin yang wajib diikuti, baik itu dalam bentuk wahyu dari Allah maupun
dari ijtihad beliau sendiri.[10]
Periode ini membawa pengaruh yang sangat
penting sekali. Hal ini disebabkan karena : pada periode ini sudah meninggalkan
beberapa ketetapan hukum dalam alquran dan assunah. Yang dengannya telah ada
dasar dari pembentukan undang undang yang sempurna.[11]
Periode ini terdiri dari 2 macam fase :
Ø Fase mekkah
Fase pertama ini dimulai semenjak rosululloh menetap
di mekkah, selama 12 tahun lebih beberapa bulan. Dihitung mulai dari beliau
diangkat sebagai rosullulloh sampai beliau hijrah ke madinah.Dalam fase ini
ummat islam masih terisolilr, sedikit jumlahnya, lemah keadaannya, dan belum
bisa membentuk suatu ummat yang kuat. Oleh karenanya dalam fase ini rosululloh
memfokuskan kepada da’wah untuk tauhid.
Pada fase ini pula belum muncul kesempatan dalam
pembentukan undang undang yang bersifat partical dan pembuatan undang undang
ketataan pemerintah, perdagangan dan lain lain.
Ciri fase ini :
*
Jumlah
masyarakat Islam sangat sedikit
*
Karena
sedikit, mereka lebih lemah dibanding musuh-musuhnya
Karena
lemah mereka dikucilkan oleh penentangnya
Ø Fase madinah
Fase ini dimulai ketika rosululloh hijrah ke madinah
sampai wafatnya beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dengan jangka waktu kurang lebih 10
tahun.
Ciri
fase ini :
*
Islam
tidak lagi lemah, jumlahnya banyak dan berkualitas
*
Adanya
ajakan untuk mengamalkan syariat Islam dalam
rangka memperbaiki hidup
Pada fase ini, ada sebagian sahabat
yang melakukan ijtihad saat terjadi persengketaan (sahabat yang berselisih
dalam pelaksanaan shalat ashar), namun keputusan mereka merupakan penerapan
hukum, bukan sebagai tasyri’ atau undang-undang bagi kaum muslimin kecuali
dengan ketetapan dari Rosulullah.
Sistem yang ditempuh oleh Rosul
dalam mengembalikan persoalan kepada sumber tasyri’ adalah bila datang
kebutuhan kepada hukum, beliau menanti wahyu Allah yang berupa satu atau
beberapa yang mengandung hukum dari persoalan yang ditanyakan, apabila tidak
ada wahyu, maka beliau akan berijtihad dengan mengambil petunjuk ayat-ayat
hukum yang telah ada, atau berdasarkan kemaslahatan serta bermusyawarah dengan
para sahabat.[12]
n Prinsip-prinsip umum pada periode takwin
:
- Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.
Hikmahnya : agar secara bertahap
mudah mengetahui isi undang-undang, materi demi materi dan mudah memahami
hukum-hukumnya secara sempurna dengan berpijak kepada peristiwa dan situasi
yang memerlukan penetapan hukum.
2.
Mensedikitkan
pembuatan undang-undang.
Hukum-hukum disyariatkan sekedar
memenuhi kebutuhan hukum yang diperlukan.
3.
Memberikan
kemudahan dan keringanan.
4.
Berjalannya
undang-undang sesuai dengan kemaslahatan manusia.[13]
c.
Sumber-sumber
tasyri’ pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Sumber tasyri’
pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ada 2, yaitu:
Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Sumber perundang-undangan pada masa
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam yang pertama
adalah Al-Qur'an Al-Karim. Ar-Raghib dalam kitab "Al-Mufradat"
menyebutkan bahwa lafadz Al-Qur'an pada dasarnya adalah mashdar seperti
lafadz kufran dan rujhan. Allah Subhaanahu
Wata’ala berfirman,
إِنَّ عَلَيْنَا
جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ {17} فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ {18}
"Sesungguhnya atas tanggungan
Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila
Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu." (Q.S. Al-Qiyamah: 17-18)
Ibnu Abbas Rhodhiyallahu
‘Anhu berkata, "Jadi kami telah
mengumpulkan dan menetapkannya dalam dadamu. Maka beramallah!"[14]
Dari perkataan Ar-Raghib kita
mengetahui bahwa lafadz Al-Qur'an pada dasarnya adalah mashdar. Qara'a
yaqra'u qira'atan wa qur'anan. Yang makna etimologisnya adalah
mengumpulkan. Sedangkan secara terminology Al-Qur'an adalah kalam Allah Subhaanahu
Wata’ala yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang sampai pada kita dengan riwayat yang
mutawatir dan kita dapat beribadah dengan membacanya serta mengamalkan
hukum-hukum yang ada di dalamnya. Al-Qur'an juga berfungsi sebagai bukti bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam benar-benar
mendapat risalah dari Allah Subhaanahu Wata’ala .[15]
Sumber
tasyri' yang kedua adalah As-Sunnah. As-Sunnah menurut bahasa berarti
jalan. Entah itu baik atau buruk. Penggunaan lafadz As-Sunnah dengan
makna telah ada dalam Al-Qur'an Al-Karim dan hadits nabawy.
Dalam Al-Qur'an Allah Subhaanahu
Wata’ala berfirman,
سُنَّةَ اللهِ
الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلُ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيلاً {23}
"Sebagai suatu sunnatullah
yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan
perubahan bagi sunnatullah itu." (Q.S. Al-Fath: 23)[16]
Kedudukannya setingkat di bawah
Kitab Allah U. Allah U telah mengkhabarkan keadaan RasulNya dalam
firmanNya,
وَمَايَنطِقُ
عَنِ الْهَوَى {3} إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى {4}
"Dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (Q.S. An-Najm: 3-4)
Allah U memerintahkan kita untuk mengikuti dan taat
pada Rasulullah r.
وَمَآءَاتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ
اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ {7}
"Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah." (Q.S.
Al-Hasyr: 7)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
"Taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya)." (Q.S. An-Nisa': 59)
Allah U memperingatkan kita untuk tidak menyelisihi
Rasulullah r.
فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ {63}
"Maka hendaklah orang-orang
yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih." (Q.S. An-Nur: 63)[17]
Nash-nash yang telah tersebut di
atas meyakinkan kita akan wajibnya menjadikan sunnah Rasulullah r sebagai dalil syar'I dan mendudukannya pada
kedudukan kedua setelah Al-Qur'an.[18]
2.
Periode
Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalam
Masa ini di mulai dari robi’ul awwal 11
Hijriyah, tepatnya setelah wafatnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tahun 633 Masehi. Dan masa ini berakhir pada
bulan robi’ul awwal tahun 132 Hijriyah atau oktober 749 Masehi.[19]Masa
ini di sebut masa penerang perundang-undangan dan terbukanya pintu penggalian
hukum-hukum yang tidak tercantum didalam Al-Qur’an secara jelas.[20]
Masa ini terbagi menjadi 2 masa dan setiap
masa memiliki pengaruh penting dalam tasyri’, yaitu:
Masa pertama : Pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin, masa ini
berlaku setelah wafatnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan
berakhir pada tahun 49 Hijriyah.
Masa kedua : Pada masa Umawiyah dan berakhir pada
permulaan abad ke-2 Hijriyah.[21]
v Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
Setelah Nabi Muhammad wafat, telah terpilih
Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad memimpin umat Islam. Ia kemudian
digantikan Umar bin Khattab, lalu diganti oleh Usman bin Affan, dan pengganti
selanjutnya adalah Ali bin Abi Thalib. Keempatnya dikenal dengan nama Khulafaur
Rasyidin. Periode ini adalah
periode penafsiran undang-undang dan terbukanya pintu ijtihad terhadap
kejadian-kejadian yang belum ada dasar hukumnya.[22]
Munculnya perkara-perkara baru pada masa Khulafa’
Ar-Rasyidin merupakan pengaruh dari adanya banyak penaklukan dan bercampurnya
orang-orang arab dalam bermuamalah dengan para penduduk Negara yang telah di
taklukkan. Dengan sebab-sebab tersebut muncullah tuntutan bagi para sahabat
untuk berijtihad seperti ijtihadnya Rasulullah dan sebelumnya Rasulullah telah
memberikan izin kepada para sahabat untuk berijtihad di masa beliau Shalallahu
‘Alaihi Wasallam .[23]
Dalam menghadapi masalah baru yang muncul pada
masa ini, para sahabat Rasulullah menyandarkan ijtihad mereka kepada empat
sumber hukum, yaitu al-Qur’an, As-Sunnah, qiyas dan ijma’. Pada periode
sahabat, khususnya saat pemerintahan Abu Bakar, Al Quran mulai dibukukan. Hal
ini dikarenakan banyak sahabat penghafal Al Quran gugur dalam peperangan. Pada periode
ini As Sunnah belum dibukukan, karena dikhawatirkan akan bercampur dengan Al
Quran.
Dalam menghadapi perkembangan kehidupan,
dengan berbagai persoalan yang memerlukan penetapan hukum, namun tidak terdapat
dalam Al Quran dan Sunnah, para sahabat melakukan ijtihad. Ada beberapa sahabat
yang menentukan langkah-langkah dalam berijtihad (Abu Bakar dan Umar). Pada
periode ini ijtihad sahabat belum dibukukan.[24]
Sebab-sebab Perbedaan Pendapat di Kalangan Sahabat
Pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar,
dapat terjadi ijma’, artinya tidak terjadi perbedaan pendapat di kalangan para
sahabat karena mereka bersama-sama memutuskan hukum suatu peristiwa hukum yang
belum diatur dalam Al Quran dan Sunnah.
Setelah Islam tersebar ke Mesir, Kufah, Basrah
dan banyak negara lain, maka para sahabat banyak yang keluar Madinah, tinggal
di kota-kota tersebut, dan mulailah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para
sahabat, disebabkan :
1.
Setelah Nabi
wafat, timbul 2 pandangan yang berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat Islam
yang berhubungan dengan otoritas penetapan hukum.
Kelompok pertama memandang, otoritas untuk
menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna Al Quran setelah Nabi wafat
adalah Ahlul Bait. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok Syiah.
Kelompok kedua berpendapat bahwa Nabi tidak
menentukan dan tidak menunjuk penggantinya yang dapat menafsirkan dan
menetapkan perintah Allah. Al Quran dan Sunnah adalah sumber hukum untuk
menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah yang timbul. Mereka dikenal
sebagai kelompok Ahlussunnah atau Sunni.
2.
Perbedaan
pendapat yang disebabkan oleh sifat Al Quran
3.
Perbedaan
pendapat yang disebabkan oleh sifat Sunnah
4.
Perbedaan
pendapat dalam penggunaan Ra’yu[25]
v Masa Umawiyah
Setelah masa khalifah yang keempat berakhir
fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahannya dipimpin Bani
Umayyah.
Fitnah besar yang dihadapi umat islam pada
akhir pemerintahan khalifah Ali adalah Tahkim yaitu perdamaian antara Ali
sebagai khalifah dan Mu’awiyah bin abi sufyan sebagai gubernur Damaskus.
Pendukung Ali yang tidak menyetujuai tahkim
membelot dan tidak lagi mendukung Ali, selanjutnya mereka disebut kelompok
khawarij. kelompok ini disebut-sebut yang merencanakan pembunuhan terhadap Ali
dan Mu’awiyah, namun hanya Ali yang berhasil dibunuh.
Mu’awiyah mengambil alih kepemimpinan umat
Islam. ketika itu umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok yaitu penentang Ali
dan Mu’awiyah (khawarij), pengikut setia Ali (syiah) dan jumhur ulama.[26]
Pada fase ini perkembangan hukum Islam
ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong
terbentuknya aliran hukum. faktor-faktor lain yang mendorong perkembangan hukum
Islam adalah :
1.
Perluasan
wilayah
Mu’awiyah melakukan ekspansi hingga dapat
menguasai tunisia, aljazair, maroko sampai kepantai samudera atlantik.
banyaknya daerah baru yang dikuasai berarti banyak pula persoalan yang dihadapi
oleh umat Islam dan harus diselesaikan. oleh karenanya hukum Islam menjadi
berkembang.
2.
Perbedaan
penggunaan ra’yu
pada jaman tabi’in fuqaha dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu aliran hadits (Madinah) dan aliran ra’yu. (Kufah)
Aliran hadis adalah golongan yang banyak
menggunakan riwayat dan sangat hati-hati dalam pemakaian ra’yu sedangkan aliran
ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu dibanding aliran hadis.
Langkah-langkah
penetapan hukum pada masa ini :
·
Mencari
Ketentuan dalam Al Quran
·
Apabila tidak
didapati dalam Quran maka dicari dalam Sunnah
·
Apabila tidak
ada dalam Quran dan Sunnah maka kembali kepada pendapat sahabat
·
Apabila tidak
diperoleh dalam pendapat sahabat, maka mereka berijtihad.[27]
3.
Periode
Kodifikasi
Setelah kekuasaan Umayyah berakhir kendali
pemerintahan Islam dipegang Dinasti Abassiah. Berbeda dengan fase sebelumnya
yang ditandai dengan perluasan wilayah, maka fase ini ditandai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.
n Berkembangnya ilmu pengetahuan disebabkan :
·
Banyak
karya-karya Yunani diterjemahkan dalam bahasa Arab
banyak berkembang pemikiran,
perdebatan dalam pemahaman Islam.
·
Ada upaya umat
Islam untuk melestarikan Al Quran dengan dicatat dan dihafalkan
n Aliran hukum Islam yang terkenal dan masih ada
pengikutnya hingga sekarang, diantaranya Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hanabilah.
n Aliran fikih yang tumbuh dan berkembang hingga
sekarang dimungkinkan karena ada dukungan dari penguasa. Contoh :
n Mazhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu
Yusuf, muridnya menjadi hakim dalam tiga pemerintahan abbasuyah.
n Akhir zaman keemasan fikih adalah
ketidakmunculan mujtahid mutlak yang dapat membangun cara dan mekanisme
berfikir hingga tidak ada lagi mujtahid pendiri mazhab.[28]
4.
Periode Taklid
Fase ini merupakan fase pergeseran orientasi.
Kalau sebelumnya merujuk langsung kepada Al Quran dan Sunnah, maka yang dirujuk
pada fase ini adl kitab-kitab fikih. Dan tidak ada seorang pun yang mengetahui
kapan akan berakhirnya periode ini.
Sebab-sebab
adanya taklid ada 3 hal, yaitu:
·
Kekaguman
murid-murid imam madzhab kepada guru mereka.
·
Telah
terbentuknya madzhab-madzhab.
·
Telah
diangkatnya seorang Hakim.[29]
DAFTAR PUSTAKA
v Al-Qathan, Manna', At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi
Al-Islam, Cetakan ke-2, Mu'asasah Ar-Risalah.
v Imam Al-Akbar Syeikh Jad Al-Haq ‘Ala Jad
Al-Haq Syeikh Al-Azhar, Al-fiqh Al-Islami maruunatihi wa Tathowwurihi,
v Abdul Wahab Khalaf , Khulashah Tarikh
Tasyre’ Al-Islami, , Cetakan ke-8, Al-Haramain.
v Badron,
Badron Abdul ‘Ainaini, Tarikh Fiqih Al-Islami wa Nadzriyatil Malikiyah wa
‘Uquud, , Daar An-Nahdzoh Al-‘Arobiyyah
v . Farfuri, Muhammad Abdul Lathif Al-,”Tarikh Al-Fiqhi Al-Islami”, Daar Ibnu
Katsir
v Haidir, Abdullah,”Madzhab Fiqih, Kedudukan dan Cara Menyikapinya”, Daar Khaled
bin Al-Waled, Riyadh, 2004.
[5] . Arab: ialah
umat yang menetap di jajaran jazirah arab, umat di jazirah arab memeiliki
banyak kabilah dan nasab mereka bersambung dari 2 cabang, yaitu Qahthon dan
‘Adnan. Dan mereka membagi Qahthon menjadi 2 cabang pula, yaitu Kahlan dan
Hamir serta membagi ‘Adnan menjadi 2 pula, yaitu Robi’ah dan mudhor. Dan
kabilah arab mudhor yang memiliki
pengaruh penting ialah kabilah Quraisy
yang terletak di Hijaz.
[10] . Tarikh Tasyre’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[11] . Tarikh Fiqih Al-Islami wa Nadzriyatil Malikiyah wa ‘Uquud, Badron
Abdul ‘Ainaini Badron, Daar An-Nahdzoh Al-‘Arobiyyah
[12] .Tarikh Tasyre’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[13] .Tarikh Tasyri’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[19] . Al-fiqh Al-Islami maruunatihi wa Tathowwurihi, Imam Al-Akbar
Syeikh Jad Al-Haq ‘Ala Jad Al-Haq Syeikh Al-Azhar, Hal. 38
[20] . Khulashah Tarikh Tasyre’ Al-Islami, Abdul Wahab Khalaf
[21] . Tarikh Fiqih Al-Islami wa Nadzriyatil Malikiyah wa ‘Uquud, Badron
Abdul ‘Ainaini Badron, Daar An-Nahdzoh Al-‘Arobiyyah, Hal. 52
[22] . Tarikh Tasyri’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[23] . Tarikh Fiqih Al-Islami wa Nadzriyatil Malikiyah wa ‘Uquud, Badron
Abdul ‘Ainaini Badron, Daar An-Nahdzoh Al-‘Arobiyyah
[24] . Ringkasan Tarikh Tasyri’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[25] . Ringkasan Tarikh Tasyri’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[26] . Ringkasan Tarikh Tasyri’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[27] . Ringkasan Tarikh Tasyri’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[28] . Ringkasan Tarikh Tasyri’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[29] . Tarikh Fiqih Al-Islami wa Nadzriyatil Malikiyah wa ‘Uquud, Badron
Abdul ‘Ainaini Badron, Daar An-Nahdzoh Al-‘Arobiyyah
Komentar