sejarah perkembangan fiqih islam




SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH ISLAM

Oleh: Anisatun Nur Hidayah

KATA PENGANTAR
            Segala puji dan syukur hanya milik Allah semata, tiada satupun yang bisa menjadi sekutu bagi-Nya, Dialah pemilik seluruh ilmu pengetahuan. Yang telah menganugrahkan ribuan nikmat kepada hamba-Nya, diantaranya ialah nikmat akal fikiran. Semua nikmat yang di berikan Allah kepada hamba-Nya hanya bisa dirasakan oleh hamba-Nya yang senantiasa bersyukur kepada-Nya.
            Shalawat dan Salam senantiasa tercurah kepada suri tauladan umat manusia, seorang pribadi yang sangat bijaksana, penutup para Nabi dan Rasul Allah Subhaanahu Wata’ala, dialah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pembawa risalah suci bagi seluruh umat manusia.
            Dengan izin Allah Subhaanahu Wata’ala akan saya paparkan makalah dengan judul “SEJARAH PERKEMBANGAN  FIQIH  ISLAM” untuk memenuhi tugas akademik. Saran yang membangun sangatlah diharapkan oleh penulis untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada di dalam makalah ini.

                                                                                                            Penulis
                                                                                                Anisatun Nur Hidayah






BAB I
PENDAHULUAN
            Ilmu Fiqih merupakan ilmu yang paling bermanfaat pada masa kini, karena mempelajari ilmu fiqih berarti mempelajari semua dimensi kehidupan yang sangat dibutuhkan oleh semua manusia. Fiqih mengatur tiga hubungan utama manusia, yaitu hubungan dengan sang pencipta, dengan diri sendiri dan masyarakat. Hukum-hukumnya mencakup masalah akidah, ibadah, akhlaq dan mu’amalah, sehingga ketika mengamalkannya hati terasa hidup serta ketika melaksanakan suatu kewajiban selalu merasa diawasi Allah Subhaanahu Wata’ala. Oleh karena itu apabila pengamalan dilakukan dengan benar, maka ketenangan, keimanan, kebahagiaan serta kestabilan akan terealisasikan di dalam hati seseorang.
            Ketika seseorang hendak mempelajari ilmu fiqih secara mendetail, maka merupakan suatu keharusan mempelajari sejarah perkembangan fiqih islam terlebih dahulu. Dalam sejarah perkembangan fiqih akan dijelaskan periode-periode fiqih, dimulai dari periode Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam dan berakhir pada periode empat Imam Madzhab. Selain itu, dalam perjalanan perkemkembangan fiqih pernah terjadi masa kemunduran dan kebangkitan fiqih.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ta’rif  Fiqih
*        Secara Bahasa
Menurut Ahli Ushul: fiqih (الفقه)  bermakna faham atau mengerti (الفهم)[1], sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wata’ala:
قَالُوْا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِمَّا تَقُوْلُ  (سورة هود: 91)
Artinya: “Mereka berkata: Hai Syu’aib kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu[2]                                                                
Menurut Ulama’ Salaf: fiqih merupakan persamaan kata dari ad-Dien dan as-Syari’ah. Sedangkan menurut Fuqoha’: fiqih adalah ilmu untuk mengetahui ilmu syar’i amaly.[3]
*        Secara Istilah
Menurut Ahli Ushul: fiqih ialah “hukum-hukum praktis dalam syari’at yang di ambil dari dalil-dalil terperinci.” Sedangkan menurut Ulama’ Salaf : “ilmu untuk mengetahui hukum-hukum syar’i amaly yang dhohir.”[4]

B.     Sejarah Perkembangan Fiqih Islam
Sejarah perkembangan fiqih terbagi menjadi 4 periode, yaitu:
1.      Periode Rasulullah, yaitu periode pembentukan dan pertumbuhan.
2.      Periode Shahabat Rasulullah, yaitu periode penjelas, pencerah dan penyempurna.
3.      Periode Kodifikasi, periode pembukuan dan tampilnya para imam mujtahid.
4.      Periode Taklid, yaitu periode statis dan kebekuan.
Di dalam makalah ini akan saya paparkan penjelasan dari setiap periode, diantaranya:
1.      Periode Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalam
a.       Keadaan Arab[5] Sebelum Islam
Pada abad ke-6 Masehi –sebelum bi'tsah-, dunia dikuasai oleh dua kekuatan adidaya yang terletak di dekat Jazirah Arab. Salah satunya adalah Persia yang menguasai daerah timur laut. Yang satunya lagi adalah Romawi yang menguasai utara dan barat. Kedua Negara adidaya ini memiliki peradaban masing-masing dalam pengetahuan dan perundang-undangan. Mereka juga mempunyai agama untuk dianut.[6]
Bangsa Arab sendiri kebanyakan adalah pengembara yang tinggal di padang pasir, masyarakat mereka terikat aturan kesukuan, budaya mereka turunan dari nenek moyang mereka. Pemimpin mereka adalah pembesar-pembesar kabilah yang merelai perselisihan di antara mereka. Pembesar kabilah memiliki wewenang untuk memerintah dan melarang anggota kabilah.[7]
Sebagian dari bangsa Arab ada yang tinggal di kota seperti Makkah, Yatsrib, dan Thaif. Mereka bercocok tanam, dan sebagian lain ada yang sudah mengenal produksi barang. Dari sinilah mereka mulai mengenal dasar mu'amalah dan hubungan perdagangan. Pasar mereka yang besar dan berkumpulnya mereka ketika haji membantu kemajuan peradaban mereka. Kaum Quraisy sendiri terkenal di Makkah sebab perdagangannya. Mereka memiliki hubungan perdagangan dengan Suriah (Romawi), Iraq (Syam), dan Yaman tiap musim dingin dan panas.
Bangsa Arab tidak memiliki perdaban pengetahuan sendiri. Tetapi perselisihan antara Persi dan Romawi yang terus-menerus berpengaruh pada Bangsa Arab.[8]
Yahudi diam-diam ada pula di Negara Arab. Mereka mendiami daerah Taima', Fidak, Khaibar, dan Yatsrib. Sebagaimana Nashrani yang mengambil tempat di Najran. Perdagangan pemerintahan Persi dan Romawi, serta kaum Yahudi dan Nashrani menjadi perantara masuknya agama-agama dan pengetahuan bangsa tetangga ke Jazirah Arab.Padahal Bangsa Arab telah mewarisi sesuatu dari agama Nabi Ibrahim u dan Nabi Isma'il u.
Hanya saja tabiat mereka yang kasar menghalanginya. Sebab lain yang menghalangi adalah karena mereka banyak yang tidak tahu tersebarnya paham watsaniyah (menyembah berhala). Oleh karenanya, mereka hidup dalam kebingungan dan kebimbangan.[9]
Demikianlah keadaan Bangsa Arab sebelum Islam.
b.      Tasyri’ pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Pada periode ini kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dengan adanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka umat Islam saat itu, apabila menghadapi suatu peristiwa, atau terjadi sengketa, atau terlintas pertanyaan maka mereka akan bertanya langsung kepada Rosul Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Hukum-hukum yang keluar dari beliau menjadi tasyri’ bagi kaum muslimin yang wajib diikuti, baik itu dalam bentuk wahyu dari Allah maupun dari ijtihad beliau sendiri.[10]
Periode ini membawa pengaruh yang sangat penting sekali. Hal ini disebabkan karena : pada periode ini sudah meninggalkan beberapa ketetapan hukum dalam alquran dan assunah. Yang dengannya telah ada dasar dari pembentukan undang undang yang sempurna.[11]
Periode ini terdiri dari 2 macam fase :
Ø  Fase mekkah
Fase pertama ini dimulai semenjak rosululloh menetap di mekkah, selama 12 tahun lebih beberapa bulan. Dihitung mulai dari beliau diangkat sebagai rosullulloh sampai beliau hijrah ke madinah.Dalam fase ini ummat islam masih terisolilr, sedikit jumlahnya, lemah keadaannya, dan belum bisa membentuk suatu ummat yang kuat. Oleh karenanya dalam fase ini rosululloh memfokuskan kepada da’wah untuk tauhid.
Pada fase ini pula belum muncul kesempatan dalam pembentukan undang undang yang bersifat partical dan pembuatan undang undang ketataan pemerintah, perdagangan dan lain lain.
Ciri fase ini :
*        Jumlah masyarakat Islam sangat sedikit
*        Karena sedikit, mereka lebih lemah dibanding musuh-musuhnya
Karena lemah mereka dikucilkan oleh penentangnya
Ø  Fase madinah
Fase ini dimulai ketika rosululloh hijrah ke madinah sampai wafatnya beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dengan jangka waktu kurang lebih 10 tahun.
Ciri fase ini :
*        Islam tidak lagi lemah, jumlahnya banyak dan berkualitas
*        Adanya ajakan untuk mengamalkan syariat Islam      dalam rangka memperbaiki hidup
Pada fase ini, ada sebagian sahabat yang melakukan ijtihad saat terjadi persengketaan (sahabat yang berselisih dalam pelaksanaan shalat ashar), namun keputusan mereka merupakan penerapan hukum, bukan sebagai tasyri’ atau undang-undang bagi kaum muslimin kecuali dengan ketetapan dari Rosulullah.
Sistem yang ditempuh oleh Rosul dalam mengembalikan persoalan kepada sumber tasyri’ adalah bila datang kebutuhan kepada hukum, beliau menanti wahyu Allah yang berupa satu atau beberapa yang mengandung hukum dari persoalan yang ditanyakan, apabila tidak ada wahyu, maka beliau akan berijtihad dengan mengambil petunjuk ayat-ayat hukum yang telah ada, atau berdasarkan kemaslahatan serta bermusyawarah dengan para sahabat.[12]
n  Prinsip-prinsip umum pada periode takwin :
  1. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.
                        Hikmahnya : agar secara bertahap mudah mengetahui isi undang-undang, materi demi materi dan mudah memahami hukum-hukumnya secara sempurna dengan berpijak kepada peristiwa dan situasi yang memerlukan penetapan hukum.
2.      Mensedikitkan pembuatan undang-undang.
            Hukum-hukum disyariatkan sekedar memenuhi kebutuhan hukum yang diperlukan.
3.      Memberikan kemudahan dan keringanan.
4.      Berjalannya undang-undang sesuai dengan kemaslahatan manusia.[13]
c.       Sumber-sumber tasyri’ pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Sumber tasyri’ pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ada 2, yaitu:
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sumber perundang-undangan pada masa Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang pertama adalah Al-Qur'an Al-Karim. Ar-Raghib dalam kitab "Al-Mufradat" menyebutkan bahwa lafadz Al-Qur'an pada dasarnya adalah mashdar seperti lafadz kufran dan rujhan. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ {17} فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ {18}
"Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu." (Q.S. Al-Qiyamah: 17-18)
Ibnu Abbas Rhodhiyallahu ‘Anhu berkata, "Jadi kami telah mengumpulkan dan menetapkannya dalam dadamu. Maka beramallah!"[14]
Dari perkataan Ar-Raghib kita mengetahui bahwa lafadz Al-Qur'an pada dasarnya adalah mashdar. Qara'a yaqra'u qira'atan wa qur'anan. Yang makna etimologisnya adalah mengumpulkan. Sedangkan secara terminology Al-Qur'an adalah kalam Allah Subhaanahu Wata’ala  yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang sampai pada kita dengan riwayat yang mutawatir dan kita dapat beribadah dengan membacanya serta mengamalkan hukum-hukum yang ada di dalamnya. Al-Qur'an juga berfungsi sebagai bukti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  benar-benar mendapat risalah dari Allah Subhaanahu Wata’ala .[15]
Sumber  tasyri' yang kedua adalah As-Sunnah. As-Sunnah menurut bahasa berarti jalan. Entah itu baik atau buruk. Penggunaan lafadz As-Sunnah dengan makna telah ada dalam Al-Qur'an Al-Karim dan hadits nabawy.
Dalam Al-Qur'an Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,
سُنَّةَ اللهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلُ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيلاً {23}
"Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu." (Q.S. Al-Fath: 23)[16]
Kedudukannya setingkat di bawah Kitab Allah U. Allah U telah mengkhabarkan keadaan RasulNya dalam firmanNya,
وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى {3} إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى {4}
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (Q.S. An-Najm: 3-4)
Allah U memerintahkan kita untuk mengikuti dan taat pada Rasulullah r.
وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ {7}
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (Q.S. Al-Hasyr: 7)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
"Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)." (Q.S. An-Nisa': 59)
Allah U memperingatkan kita untuk tidak menyelisihi Rasulullah r.
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ {63}
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (Q.S. An-Nur: 63)[17]
Nash-nash yang telah tersebut di atas meyakinkan kita akan wajibnya menjadikan sunnah Rasulullah r sebagai dalil syar'I dan mendudukannya pada kedudukan kedua setelah Al-Qur'an.[18]
2.      Periode Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalam
Masa ini di mulai dari robi’ul awwal 11 Hijriyah, tepatnya setelah wafatnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  tahun 633 Masehi. Dan masa ini berakhir pada bulan robi’ul awwal tahun 132 Hijriyah atau oktober 749 Masehi.[19]Masa ini di sebut masa penerang perundang-undangan dan terbukanya pintu penggalian hukum-hukum yang tidak tercantum didalam Al-Qur’an secara jelas.[20]
Masa ini terbagi menjadi 2 masa dan setiap masa memiliki pengaruh penting dalam tasyri’, yaitu:
Masa pertama : Pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin, masa ini berlaku setelah wafatnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan berakhir pada tahun 49 Hijriyah.
Masa kedua     : Pada masa Umawiyah dan berakhir pada permulaan abad ke-2 Hijriyah.[21]
v  Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
Setelah Nabi Muhammad wafat, telah terpilih Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad memimpin umat Islam. Ia kemudian digantikan Umar bin Khattab, lalu diganti oleh Usman bin Affan, dan pengganti selanjutnya adalah Ali bin Abi Thalib. Keempatnya dikenal dengan nama Khulafaur Rasyidin. Periode ini adalah periode penafsiran undang-undang dan terbukanya pintu ijtihad terhadap kejadian-kejadian yang belum ada dasar hukumnya.[22]
Munculnya perkara-perkara baru pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin merupakan pengaruh dari adanya banyak penaklukan dan bercampurnya orang-orang arab dalam bermuamalah dengan para penduduk Negara yang telah di taklukkan. Dengan sebab-sebab tersebut muncullah tuntutan bagi para sahabat untuk berijtihad seperti ijtihadnya Rasulullah dan sebelumnya Rasulullah telah memberikan izin kepada para sahabat untuk berijtihad di masa beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam .[23]
Dalam menghadapi masalah baru yang muncul pada masa ini, para sahabat Rasulullah menyandarkan ijtihad mereka kepada empat sumber hukum, yaitu al-Qur’an, As-Sunnah, qiyas dan ijma’. Pada periode sahabat, khususnya saat pemerintahan Abu Bakar, Al Quran mulai dibukukan. Hal ini dikarenakan banyak sahabat penghafal Al Quran gugur dalam peperangan. Pada periode ini As Sunnah belum dibukukan, karena dikhawatirkan akan bercampur dengan Al Quran.
Dalam menghadapi perkembangan kehidupan, dengan berbagai persoalan yang memerlukan penetapan hukum, namun tidak terdapat dalam Al Quran dan Sunnah, para sahabat melakukan ijtihad. Ada beberapa sahabat yang menentukan langkah-langkah dalam berijtihad (Abu Bakar dan Umar). Pada periode ini ijtihad sahabat belum dibukukan.[24]
Sebab-sebab Perbedaan Pendapat di Kalangan Sahabat
Pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar, dapat terjadi ijma’, artinya tidak terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat karena mereka bersama-sama memutuskan hukum suatu peristiwa hukum yang belum diatur dalam Al Quran dan Sunnah.
Setelah Islam tersebar ke Mesir, Kufah, Basrah dan banyak negara lain, maka para sahabat banyak yang keluar Madinah, tinggal di kota-kota tersebut, dan mulailah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat, disebabkan :
1.      Setelah Nabi wafat, timbul 2 pandangan yang berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat Islam yang berhubungan dengan otoritas penetapan hukum.
Kelompok pertama memandang, otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna Al Quran setelah Nabi wafat adalah Ahlul Bait. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok Syiah.
Kelompok kedua berpendapat bahwa Nabi tidak menentukan dan tidak menunjuk penggantinya yang dapat menafsirkan dan menetapkan perintah Allah. Al Quran dan Sunnah adalah sumber hukum untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah yang timbul. Mereka dikenal sebagai kelompok Ahlussunnah atau Sunni.
2.      Perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Al Quran
3.      Perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Sunnah
4.      Perbedaan pendapat dalam penggunaan Ra’yu[25]
v  Masa Umawiyah
Setelah masa khalifah yang keempat berakhir fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahannya dipimpin Bani Umayyah.
Fitnah besar yang dihadapi umat islam pada akhir pemerintahan khalifah Ali adalah Tahkim yaitu perdamaian antara Ali sebagai khalifah dan Mu’awiyah bin abi sufyan sebagai gubernur Damaskus.
Pendukung Ali yang tidak menyetujuai tahkim membelot dan tidak lagi mendukung Ali, selanjutnya mereka disebut kelompok khawarij. kelompok ini disebut-sebut yang merencanakan pembunuhan terhadap Ali dan Mu’awiyah, namun hanya Ali yang berhasil dibunuh.
Mu’awiyah mengambil alih kepemimpinan umat Islam. ketika itu umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok yaitu penentang Ali dan Mu’awiyah (khawarij), pengikut setia Ali (syiah) dan jumhur ulama.[26]
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. faktor-faktor lain yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah :
1.      Perluasan wilayah
Mu’awiyah melakukan ekspansi hingga dapat menguasai tunisia, aljazair, maroko sampai kepantai samudera atlantik. banyaknya daerah baru yang dikuasai berarti banyak pula persoalan yang dihadapi oleh umat Islam dan harus diselesaikan. oleh karenanya hukum Islam menjadi berkembang.
2.      Perbedaan penggunaan ra’yu
pada jaman tabi’in fuqaha dapat dibedakan menjadi 2 yaitu aliran hadits (Madinah) dan aliran ra’yu. (Kufah)
Aliran hadis adalah golongan yang banyak menggunakan riwayat dan sangat hati-hati dalam pemakaian ra’yu sedangkan aliran ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu dibanding aliran hadis.
Langkah-langkah penetapan hukum pada masa ini :
·         Mencari Ketentuan dalam Al Quran
·         Apabila tidak didapati dalam Quran maka dicari dalam Sunnah
·         Apabila tidak ada dalam Quran dan Sunnah maka kembali kepada pendapat sahabat
·         Apabila tidak diperoleh dalam pendapat sahabat, maka mereka berijtihad.[27]
3.      Periode Kodifikasi
Setelah kekuasaan Umayyah berakhir kendali pemerintahan Islam dipegang Dinasti Abassiah. Berbeda dengan fase sebelumnya yang ditandai dengan perluasan wilayah, maka fase ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
n  Berkembangnya ilmu pengetahuan disebabkan :
·         Banyak karya-karya Yunani diterjemahkan dalam bahasa Arab
banyak berkembang pemikiran, perdebatan dalam pemahaman Islam.
·         Ada upaya umat Islam untuk melestarikan Al Quran dengan dicatat dan dihafalkan
n  Aliran hukum Islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang, diantaranya Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
n  Aliran fikih yang tumbuh dan berkembang hingga sekarang dimungkinkan karena ada dukungan dari penguasa. Contoh :
n  Mazhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf, muridnya menjadi hakim dalam tiga pemerintahan abbasuyah.
n  Akhir zaman keemasan fikih adalah ketidakmunculan mujtahid mutlak yang dapat membangun cara dan mekanisme berfikir hingga tidak ada lagi mujtahid pendiri mazhab.[28]
4.      Periode Taklid
Fase ini merupakan fase pergeseran orientasi. Kalau sebelumnya merujuk langsung kepada Al Quran dan Sunnah, maka yang dirujuk pada fase ini adl kitab-kitab fikih. Dan tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan akan berakhirnya periode ini.
Sebab-sebab adanya taklid ada 3 hal, yaitu:
·         Kekaguman murid-murid imam madzhab kepada guru mereka.
·         Telah terbentuknya madzhab-madzhab.
·         Telah diangkatnya seorang Hakim.[29]










DAFTAR PUSTAKA

v Al-Qathan, Manna', At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, Cetakan ke-2, Mu'asasah Ar-Risalah.
v  Imam Al-Akbar Syeikh Jad Al-Haq ‘Ala Jad Al-Haq Syeikh Al-Azhar, Al-fiqh Al-Islami maruunatihi wa Tathowwurihi,
v Abdul Wahab Khalaf , Khulashah Tarikh Tasyre’ Al-Islami, , Cetakan ke-8, Al-Haramain.
v   Badron, Badron Abdul ‘Ainaini, Tarikh Fiqih Al-Islami wa Nadzriyatil Malikiyah wa ‘Uquud, , Daar An-Nahdzoh Al-‘Arobiyyah
v  . Farfuri, Muhammad Abdul Lathif Al-,”Tarikh Al-Fiqhi Al-Islami”, Daar Ibnu Katsir
v  Haidir, Abdullah,”Madzhab Fiqih, Kedudukan dan Cara Menyikapinya”, Daar Khaled bin Al-Waled, Riyadh, 2004.


[1] .Abdullah Haidir,”Madzhab Fiqih, Kedudukan dan Cara Menyikapinya”, Hal. 12
[2] .Q.S Huud: 91
[3] .DR. Muhammad Abdul Lathif Al-Farfuri,”Tarikh Al-Fiqhi Al-Islami”, Daar Ibnu Katsir, hal. 9
[4] .DR. Muhammad Abdul Lathif Al-Farfuri,”Tarikh Al-Fiqhi Al-Islami”, Daar Ibnu Katsir, hal. 10
[5] . Arab: ialah umat yang menetap di jajaran jazirah arab, umat di jazirah arab memeiliki banyak kabilah dan nasab mereka bersambung dari 2 cabang, yaitu Qahthon dan ‘Adnan. Dan mereka membagi Qahthon menjadi 2 cabang pula, yaitu Kahlan dan Hamir serta membagi ‘Adnan menjadi 2 pula, yaitu Robi’ah dan mudhor. Dan kabilah arab mudhor  yang memiliki pengaruh penting ialah kabilah Quraisy  yang terletak di Hijaz.
[6] . At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, Manna' Al-Qathan, Hal: 29.
[7] . At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, Manna' Al-Qathan, Hal: 31.
[8] . At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, Manna' Al-Qathan, Hal: 31.
[9] . At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, Manna' Al-Qathan, Hal: 32.
[10] . Tarikh Tasyre’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[11] . Tarikh Fiqih Al-Islami wa Nadzriyatil Malikiyah wa ‘Uquud, Badron Abdul ‘Ainaini Badron, Daar An-Nahdzoh Al-‘Arobiyyah
[12] .Tarikh Tasyre’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[13] .Tarikh Tasyri’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[14] . At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, Manna' Al-Qathan, Hal: 40.
[15] . At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, Manna' Al-Qathan, Hal: 40.
[16] . At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, Manna' Al-Qathan, Hal: 87.
[17] . At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, Manna' Al-Qathan, Hal: 88-89.
[18] . At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, Manna' Al-Qathan, Hal: 89.
[19] . Al-fiqh Al-Islami maruunatihi wa Tathowwurihi, Imam Al-Akbar Syeikh Jad Al-Haq ‘Ala Jad Al-Haq Syeikh Al-Azhar, Hal. 38
[20] . Khulashah Tarikh Tasyre’ Al-Islami, Abdul Wahab Khalaf
[21] . Tarikh Fiqih Al-Islami wa Nadzriyatil Malikiyah wa ‘Uquud, Badron Abdul ‘Ainaini Badron, Daar An-Nahdzoh Al-‘Arobiyyah, Hal. 52
[22] . Tarikh Tasyri’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[23] . Tarikh Fiqih Al-Islami wa Nadzriyatil Malikiyah wa ‘Uquud, Badron Abdul ‘Ainaini Badron, Daar An-Nahdzoh Al-‘Arobiyyah
[24] . Ringkasan Tarikh Tasyri’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[25] . Ringkasan Tarikh Tasyri’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[26] . Ringkasan Tarikh Tasyri’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[27] . Ringkasan Tarikh Tasyri’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[28] . Ringkasan Tarikh Tasyri’ Islami, Abdul Wahab Kholaf
[29] . Tarikh Fiqih Al-Islami wa Nadzriyatil Malikiyah wa ‘Uquud, Badron Abdul ‘Ainaini Badron, Daar An-Nahdzoh Al-‘Arobiyyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

wadhih ad-Dalalah

HUKUM MENIKAHI DUA PEREMPUAN BERSAUDARA SECARA BERSAMAAN

Bagaimana Kita Tahu Terjadi Dislokasi Tulang Belakang?