meneropong makna fatamorgana
Oleh: Fatihah
Qurrota A’yun Dinillah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi: III,
fatamorgama adalah gejala optis yang tampak pada permukaan yang panas, yang
kelihatan seperi genangan air. Atau disebut juga dengan hal yang bersifat khayal
dan tidak mungkin dicapai. Berdasarkan pembahasan ini, maka yang dimaksud
dengan fatamorgana tersebut ialah kehidupan dunia yang penuh dengan kenikmatan
dan bergemilang dengan segala harta, namun seluruh perihal tersebut niscaya
tidak akan kekal atau bersifat khayalan belaka.
Belajar dari keluarga tikus, diceritakan dalam
sebuah buku bahwa ada sekelompok keluarga tikus yang sedang melewati sebuah
meja makan yang di dalamnya terdapat suatu hidangan, yang mana hidangan
tersebut tak lain hanyalah sebongkah keju nan lezat dan dibawah keju tersebut
terdapat sebuah alat perangkap. Sementara sang tikus bungsu merengek meminta
keju tersebut, namun sang ayah tetap mencegahnya dan melarangnya serta memberitahukan
bahwa sekalipun keju itu snagat lezat dan betapa tingginya hasrat kita untuk
memilikinya, namun di dalamnya terdapat sebuah perangkap yang akan membuat
mereka binasa.
Inilah perumpamaan dunia yang penuh dengan
kenikmatan dan kesenangan yang fana’, serta masih banyak dari sebagian manusia
yang masih terkontaminasi dengan segala sifat fatamorgana ini, baik dari segi
lahiriyah maupun bathiniyahnya. Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam
firman-Nya, Allah I berfirman:
.... اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ
الدُّنْيَا لَعِبُُ وَلَهْوُُ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرُُ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرُُ فِي
اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَد
Artinya: “ Ketahuilah, sesungguhnya
kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga
di antara kamu serta berlomba- lomba dalam kekayaan dan keturunan......”(QS.
Al- Hadid: 20)
Sebagaimana pula perumpamaan Rasulullah r tentang keberadaan hakiki seseorang di dunia
ini, betapa sekejapnya kita berada di dunia yang penuh fatamorgana ini, dengan
hanya sekedar berteduh mencari tempat peristirahatan. Rasulullah r bersabda:
ما
مثلي و مثل الدنيا الاّ كراكب سار في يوم صائف فاستضلّ تحت شجرة ساعة من نهار ثمّ
راح و تركها.(رواه اَحمد)
“Sesungguhnya perumpamaan dunia dan diriku adalah seperti seseorang
yang beristirahat sejenak di bawah sebuah pohon pada siang yang amat panas,
kemudian ia pergi dan meninggalkannya.” (HR. Ahmad)
Di dalam kitab Sibaaq nahwal jinaan disebutkan
bahwa orang- orang yang tergiur dengan kenikmatan duniawi bagaikan orang yang
mutakhollif. Mutakhollif di sini disebutkan oleh Imam Ibnu Qoyyim Al- Jauziyyah
r.a, bahwa orang mutakhollif bagaikan orang yang tidur di bawah naungan
pohon yang rindang. Sampai pada suatu saat pohon itu tumbang, daun- daun berjatuhan, dan lenyaplah kandungan
karbondioksida di dalamnya. Sehingga membuat orang tersebut baru merasakan
panas yang menyengat. Jadi, makna pohon tersebut tidak selamanya rindang,
namun pada suatu saat nantinya akan tumbang tanpa disadari oleh manusia.
Sebagaimana keadaan dunia ini, tidak selamanya dunia ini kekal, namun nantinya
pasti akan hancur kelak pada waktunya. Maka segala angan- angan untuk kekal di
alam fana’ hanyalah angan- angan belaka, dan begitu juga dengan segala
kenikmatan yang ada saat ini. Terkadang, lazimnya orang yang seperti ini sangat
takut dengan kematian, ia akan selalu menggauli dunia dengan segala perihal
angan- angannya.
Adapun orang yang seperti ini hatinya telah terkunci, bahkan mati
dari rahmat Allah U. Sementara hidupnya terkapar dalam naungan hawa nafsu dan syahwat.
Inilah orang yang disebutkan dalam hadits Nabi r,
حبّ
الدنيا و كراهية الموت....
“Cinta terhadap dunia
dan benci terhadap kematian”
Dengan demikian, untuk mendapatkan suatu
kebahagiaan dunia dan akherat kelak, sebagaimana yang terkandung dalan Al-
Qur’an dan As- Sunnah maka seseorang patut memiliki tiga konsekwensi dalam
jiwanya, antara lain:
1.
Mempunyai bekal iman dan taqwa
2.
Menjalankan syariat Islam
3.
Menghiasi hidup dengan akhlaq dan adab
Adapun seseorang yang memiliki tiga
konsekwensi tersebut, niscaya akan benci apabila ia menyepelekan suatu
kebaikan, sehingga ia dapat menaklukkan dunia yang fana’ ini. Maka tidak layak
seseorang yang memiliki akal sehat bila terkendalikan oleh kenikmatan duniawi
ini. Wallahu a’lam bish shawwab..
Komentar