sejarah perkembangan hukum islam

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
Oleh: Fatihah Qurrota A'yun Dinillah


A.     PENDAHULUAN
Pujian untuk Allah yang telah mengatur hambaNya dengan sebaik- baik mungkin. Karena kasihsayangNya, segala amal pebuatan kita memiliki pondasi dan tatacaraapa yang seharusnya kita perbuat.
Pada hakikatnya, sudah menjadi sebuah kepastian bahwasanya manusia hidup secara bersosialisasi.Di dalam lingkup komponen tersebut, perlunya sebuah hukum untuk mengatur segala visi dan misi dari berbagai individu masing- masing. Perlu diketahui, di dalam kehidupannya  manusia memiliki masing- masing  tatacara hubungan dirinya dengan Rabbnya maupun dengan manusia sekitar dan lingkungannya. Dengannya, islam mengatur secara tersusun rapi di dalam Al Quran dan As Sunnah yang sampai saat ini menjadi pedoman hidup kaum muslimin.
Secara syumuly, hukum terbagi menjadi tiga, diantaranya: hukum yang berkaitan dengan Rabb, hukum yang berkaitan dengan dirinya, dan hukum yang berkaitan dengan tatacara mu’amalah. Dengan kata lain, hukum terkait pada masalah aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalah.
Adapun sejarah terbentuknya hukum islam, terbagi menjadi dua periode, diantaranya:
1.      Periode Tasyri’, yang terjadi hanya pada masa Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam
2.      Periode Fiqih,yang terbentuk menjadi beberapa fase:
a.       Fase pertama    : Masa Sahabat
b.      Fase kedua       : Masa Akhir Sahabat dan Permulaan Tabi’in
c.       Fase ketiga       : Masa Puncak Kejayaan Ilmu Fiqih
d.      Fase keempat   : Masa Taqlid
e.       Fase kelima      : Masa Kebangkitan Ulang Ilmu Fiqih
Dengan demikian, keberadaan sejarah hukum islam memiliki peranan penting guna mengenali bagaimana titik sudut fase perkembangan syariat yang ditinjau dari asas Al Qur’an dan As Sunnah dengan memahami cara pandang syariat Islam yang berhadapan dengan berbagai penkembangan dan peradaban yang berlaku hingga saat ini.
B.     SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
Sebelum terbentuknyahukum Islam pada zamanRasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, keadaan dunia begitu memprihatinkan, bagai kehidupan tanpa mentari. Dengan kondisi masyarakat jahiliyah yang tidak memiliki satu pedoman hukum yang hakiki, seolah kebodohan menjadi akar kehidupan mereka, termasuk wilayah jazirah Arab. Walau demikian, masyarakat arab umumnya memiliki jiwa ksatria dan dunia perekonomian dan perpolitikan yang begitu tinggi, meski masih bercampur aduk antara yang hak dan yang bathil. Dengan diutusnya sang Rasul di jazirah tersebut dan  membawa cahaya Islam secerah mentari secara sempurna menerangi bumi, maka situasi dan kondisi menjadi semakin membaik secara berangsur- angsur.
Sejak diutusnya Rasul hingga saat ini, periode hukum islam terbagi menjadi dua bagian, diantaranya: Periode Tasyri’ dan Periode Fiqih, yang di dalamnya terdapatbeberapa fase perkembangan yang akan saya bahas di bawah ini nantinya:

1.      PERIODE TASYRI’
Pengertian tasyri’ menurut istilah syara’ dan undang- undang adalah pembuatan atau pembentukan undang- undang untuk mengetahui hukum- hukum bagi orang dewasa, dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi di kalangan mereka.[1]. Adapun pembentukan tasyri’ ini bersumber dari Allah dan Rasul-Nya yang diilhami dari wahyu ilahi.
Periode tasyri’ merupakan masa di mana awal terbentuknya hukum islam yang  terjadi sejak diutusnya Nabi Muhammadshallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi Rasul sampai wafatnya beliau, bertepatan pada tahun 11 H. oleh sebab itu, tidak ada istilah tasyri’ melainkan hanya pada masa beliau saja. Pada periode  ini tidak dinamakan fiqh karena secara otoritas segala hukum dikembalikan atau dipegang oleh Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan bersumberkan dua wahyu yaitu Al Quran yang secara makna dan lafadz dari Allah maupun As sunnah yang secara makna dari Allah dan lafadz dikembalikan pada Rasulullah. 
Allah berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4).(النجم: 3-4)
Artinya:dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.(Q.S. An Najm: 3-4)
Adapun tasyri’ pada masa beliau, terbagi menjadi dua, diantaranya: Tasyri’ di Makkah dan Tasyri’ di Madinah. Tasyri’ di Makkah terjadi selama 13 tahun semenjak masa diutusnya Rasul sampai menjelang hijrahnya beliau ke Madinah. Tasyri’ di Makkah hanya membahas sedikit hukum islam, sebab misi utama da’wah para rasul adalah memnanamkan aqidah di hati para umatnya. Oleh sebab itu, Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya memfokuskan misinya dalan pembenaran aqidah yaitu dengan mengubah revolusi aqidah mereka dan mengubah system kepercayaan mereka menuju tauhid Uluhiyyah kepada Allah. Sedangkan tasyri’ di Madinah, merupakan sebuah misi utama bagi seorang rasul, hijrah tidak lain hanyalah guna membentuk ummat yang baru yang secara pasti membutuhkan hukum. Oleh karena itu, tujuan adanya tasyri’ di Madinah untuk menegakkan system kenegaraan Islam dari seluruh aspek kehidupan, diterapkannya interaksi sosial antarmasyarakat dan system sosial politik.

2.      PERIODE FIQH
Fiqh secara etimologi: 
الفقه dalam bahasa Arab berarti  الفهم (pemahaman), sebagaimana yang bisa kita pahami dari firman Allah SWT.
قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا مِمَّا تَقُولُ….(91).(هود:91)
Artinya: “ mereka berkata, ‘Wahai Syu’aib! Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang engkau katakan itu….”(Q.S. Huud: 91)[2]
Sementara secara terminology: Ilmu fiqh adalah pengetahuan terhadap hukum syar’i yang bersifat amaliyah (praktek) yang dihasilkan dan disimpulkan dari dalil- dalil syar’i secara terperinci.[3]
Ilmu fiqh merupakan bentuk pondasi dimensi kehidupan manusia dalam menjalankan kemaslahatan di dunia dan diakherat, baik yang berhubungan dengan Rabbnya, dirinya, maupun dengan manusia, yang di dalamnya mengandung berbagai hukum- hukum.Sementara sejarahperkembangan ilmu fiqih sebagaimana penjelasan berikut ini:
i.                    Masa Sahabat (Permulaan Khulafa’ur Rasyidin) (11 H- 40 H)
Terjadi sejak sepeninggal Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam pada tahun 11 H. Ketika itu mulailah timbulnya ilmu fiqh, yang merupakan terbukanya pintu ijtihad bagi para sahabat disebabkan banyaknya ikhtilaf dalam cara pandang ketika memahami hukum- hukum yang ada.Dan hasil dari ijtihad para sahabat dapat dipercaya dan menjadi sumber hukum syara’ atau fiqh Islam.
Sebenanya fiqh sendiri sudah ada semenjak zaman Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi baru diaplikasian menjadi disiplin ilmu yang nyata baru ada sepeninggal beliau.Merupakan sebuah embrio timbulnya ilmu fiqh setelah habisnya masa tempo periode tasyri’ disebabkan beberapa faktor, diantaranya: terjadinya perbedaan pendapat yang kontemporer,  pemahaman antara syubhat yang satu dengan syubhat yang lain berbeda, serta luasnya pemahaman sahabat yang berbeda- beda, baik di dalam menyaksikan asbaabun  nuzul al quran maupun yang lainnya. Semantara  masdar tasyri’nya bersumber dari al qur’an dan sunnah, serta beberapa ijtihad yang pernah dilakukan oleh Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam beserta sahabatnya. Mereka juga mengeluarkan ijtihad ketika terjadi beberapa persoalan yang tidak di jumpai nashnya secara khusus atau qath’iy di dalam alquran maupun hadits. Hal ini didasarkan pada Hadits muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya Rasulullahshallalaahu ‘alaihi wa sallam. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam (HR. Bukhari)
Sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, pada masa Abu Bakar terjadi pertentangan dan keraguan di antara kaum muslimin dalam menetapkan siapa yang akan menjadi pemimpin di antara mereka. Akan tetapi Abu Bakar mengambil alih dengan adil dan disepakati oleh para sahabat yang layak dijadikan khalifah adalah bagian  dari kelompok muhajirin, dan pada akhirnyaa bai’at jatuh ke tangan beliau. Memang sudah ada tanda- tanda mengenai kekhilafahannya tatkala menjelang wafatnya Rasulullah, dengan menggantikaan sebagai imam sholat di saat Rasulullah sakit.
Tepat pada tahun 11 H, terbaiatnya Abu Bakar menjadi khalifah.Tidak lama setelah pembaiatannya, banyak sekali permasaklahan- permasalahan rumit yang dihadapi, diantaranya; banyaknya kaum muslimin yang murtad disebabkan kematian Rasulullah, banyaknya kaum muslimin yang menolak untuk membayar zakat, dan banyaknya manusia yang yang mengklaim dirinya sebagai nabi.Hal inilah yang menjadi persoalan untuk mengambil alih jalan keluar dengan ijtihad.
Sepeninggal Abu Bakar, maka dilanjutkan oleh Umar bin Khaththab atas dasar permintaan Abu Bakar. Pada masa Umar inilah merupakan benturan syariat terhadap budaya, moral, dan etika makhluk humanisme. Begitu pula, umar banyak andil dalam menetapkan berbagai hukum yang masih samar dan sulit dipahami.. Sehingga banyak terjadi permasalahan fiqh yang dinamakan fiqh kotemporer, diantaranya dalam menetapkan koordinasi peperangan dan berbagai permasalahan siyasah.
Disebabkan banyaknya perbedaan pendapat di antara sahabat di berbagai negara dan ijtihad mereka dalam menentukan hukum- hukum yang baru, maka muncullah berbagi pembelajaran fiqh yang berbeda- beda. Pada masa ini, hukum masih sangat bergantung pada Al Quran dan As- Sunnah, karena segala peristiwaa yang terjadi masih sederhanamemungkinkan untuk merujuk kepada kedua pedoman tersebut.
ii.                  Masa Akhir Sahabat dan Permulaan Tabi’in (40 H- 101 H)
Terjadi pada masa kekhilafahan Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib, yang dilanjutkan kepada kekuasaan Daulah Umawiyyah sampai masa runtuhnya daulah tersebut dan kemudian digantikan oleh Daulah Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad ke-1 H (40 H) sampai akhir abad ke- 1 H (101 H). Rupanya semakin banyak para sahabat yang berpencar ke berbagai penjuru daerah setempat yang pernah ditaklukkan oleh Islam. Peristiwa ini terjadi pada masa periode akhir sahabat dan permulaan masa munculnya para tabi’in, di mana pada saat itu babyak sekali terjadi khilaf dalan menguraikan pendapt mengenai berbagai permasalahan yang berhbungan dengan huk,ukm sayra’i, disebabkan asing- masing sahabat menghadapi berbagai persoalan yang berbeda- beda, sesuai dengan kondisi letak wilayah setempat.  
Dari situlah disiplin ilmu fiqh secara analisis muncul karena tekanan perkembangan zaman yang menuntut untuk menghasilkan sebuah hukum – hukum syar’i dengan jalur ijtihad yang benar.Namun, padamasa inilah nampak berbagai fitnah yang menyerang kekhalifahan hingga tebunuhnya Utsman. Oleh sebab itu, ummat islam berpecah menjadi tiga golongan, antara lain: ahlus sunnah, syiah, dan khawarij[4]. Kemudian dilanjutkan oleh kekhilafahan ‘Ali bin Abi Thalib yang beralih kekuasaan di Kuffah. Semakin berjalannya waktu, semakin menyebar pula para sahabat di mana- mana, sehingga mereka banyak yang mengkader generasi selanjutnya dalam mewarisi ‘ulumuddin. Mereka adalah para tabi’in yang menjadi cikal bakal penerus yang menggantikan para sahabat dalam memimpin ummat. Maka sudah sewajarnya banyak di antara mereka terjadi ikhtilaf  dalam memahami beberapa persoalan yang dihadapi. Sehingga terbentuklah dua aliran Fiqh,  yaitu ahl ra’yi dan ahl hadits.
            Adapunahl ra’yi, bertempat di daerah Kuffah (Irak), dipelopori  oleh Abdullah bin Mas’ud, disebabkan tidak memungkinkan jika hanya berpadu kepaga al- quran dan hadits, maka dari itu mereka berinisiatif untk berijtihad menggunakan akal secara sempurna dalam proses penyelesaian masalah. Begitu pula karena factor permasalahan yang terus semakin  baru. Abdullah bin Abbas ini, banyak belajar dari cara berfikir Umar bin Khattab r.a dalam menggunakan logika dan mencari ‘ilah (sebab) hukum ketika tidak ditemukan nash (teks). Diantara ulama’ penerus yang terkenal ialah Alqamah, Ibrahim An- Nakha’i, dan masih banyak lagi termasuk I. Abu Hanifah.
Sementara ahl hadits, yang bertempat di wilayah Hijaz ( Madinah), pembesar golongan ini dari kalangan sahabat adalah Zaid bin Tsabit r.a, Abdullah bin Umar r.a dan ‘Aisyah r.a.Mereka banyak mengedepankan hadits dalam menghadapi beberapa persoalan, karena pada saat itu, mereka banyak bertemu bersama Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya.
iii.                Masa Puncak Kejayaan (101 H- 350 H)
Terjadi pada permulaan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H,yaitu sejak tahun 101 H sampai 350 H. Tepat pada masa Dinasti Abbasiyah yang memberikan ruang kepada ulama’.Pada periode ini, merupakan hasil dari berbagai fatwa sebagian sahabat dan para tabi’in. Disebut juga dengan periode keemasan ilmu Fiqh dengan munculnya beberapa imam mujtahid untuk berijtihad, disertai dengan pembentukan madzhab – madzhab fiqh ahlussunnah yang terkenal diantaranya; Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali, dengannya fiqh menjadi berkembang.
Mazhad Hanafi yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah (80 - 150 H), beliau menisbatkan seluruh ijtihadnya dengan pendapat ahlur ra’yi, sehingga mereka sering menggunakan qiyas dalam membentuk suatu hukum. Mereka menisbatkan diri mereka dengan ahl ra’yi disebabkan sangat jarang hadits yang di dapati di daerah tersebut dan tidak memungkinkan untuk tidak absen dalam memperoleh hadits serta keberadaan lokasi yang minim untuk dijangkau. Ciri khusus lain aliran ini adalah para Fuqaha’-nya tidak takut dalam berfatwa bahkan dalam memperkirakan hal-hal yang belum terjadi (iftiradh), namun meskipun demikian, mereka sangat ketat dalam menerima hadits, karena takut terhadap masuknya hadits palsu yang banyak beredar di sana.[5]
            Di dalam persoalan fiqh, kedudukannya sangat disegani oleh beberapa ulama’ pada masanya, terkhusus I. Malik dan I. Syafi’i. Pada masa kini, madzhabnya banyak diikuti oleh masyarakat Irak, India, China, dan berbagai kerajaan non-arab.Bahkan pada masa Dinasti Abbasiyah, madzhab ini begitu ditekankan dan diterapkan pada pemerintahannya.
Sementara Imam Malik (93 H -179 H) sendiri, merupakan pendukung ahl hadits.Ia dikenal memiliki pemahaman ‘amal ahl madinah yang secara otomatis masih murni mengikuti dan meneladani prinsip Rasulullah, dengannya mudah untuk meriwayatkan hadits dari para sahabat yang masih tinggal di Madinah. Setelah Imam Malik, terdapat Imam Syafi’i (150 H- 204 H) yang menggabungkan pendapat ahl ra’yi dan ahl hadits, yang sebelumnya beliau telah belajar kepada para sahabat Abu Hanifah pada saat itu.Dari sinilah pertentangan kedua aliran ini menjadi bersahabat dan saling menguatkan satu sama lain.
Kemudian generasi selanjutnya diteruskan oleh I. Ahmad bin Hanbal (164 H- 241 H). Tidak sering beliau berpendapat dan berijtihad terhadap suatu hukum, beliau bahkan lebih sering dan tangguhdalam periwayatan hadits.Meskipun begitu, para pengikutnya dapat membentuk madzhab, yang dikenal sebagai Madzhab Hanbali.Akan tetapi madzhabnya sedikit sekali pengikutnya, karena sangat sedikit sekali dalam berijtihad.
Setelah terbentuknya beberapa madzhab yang disepakati, para imam madzhab masing- masing diantara mereka mengkodifikasikan kitab- kitab yang dijadika sebagai mu’tamad dalam berhujjah, yang kemudian diteruskan oleh beberapa murid mereka, seperti al- Muwaththo’ milik Imam Malik, al-Umm dan ar- Risalah milik Imam Syafi’i, dan masih banyak lagi kitab- kitab mu’tamad mereka.
Penyusunan kitab ilmu Fiqh baru terjadi seiring tumbuh dan berkembangnya mazhab-mazhab fiqh yang disepakati setelah masa sahabat dan setelah terjadinya pengkodifikasian ilmu hadits. Fiqh bermula melalui program halaqoh tanpa bersifat formal. Namun, seiring berjalannya waktu dan kebutuhan terhadap ilmu Fiqh semakin meluas, maka sebagian murid dari empat imam tersebut mulai membukukan ilmu Fiqh secara khusus dan fleksibel.
Di sisi lain, pada masa Bani Umayyah timbul perhatian sebagian Qadhi (hakim) beberapa daerah untuk membukukan hukum-hukum mereka, pembukuan hukum ini pertama kali dilakukan oleh seorang Qadhi Bani Umayyah di Mesir, yang membukukan hukum waris.Ide pembukuan Fiqh ini semakin kuat, kemudian para Fuqaha’ Madinah mulai mengumpulkan ddan membukukan fatwa-fatwa para sahabat seperti Abdullah ibnu Umar r.a, Aisyah r.a, Abdullah bin Abbas r.a dan beberapa ulama- ulama besar di kalangan tabi’in Madinah, diantara bukti kongkritnya adalah pembukuan Muwaththa’ Imam Malik r.a. Sementara di Iraq juga terjadi hal yang sama, diantaranya Ibrahim an-Nakh’ai r.a yang mengumpulkan fatwa-fatwa ulama mereka.[6]
iv.                Masa Taqlid (Tertutupnya Pintu Ijtihad Setelah Terbentuknya Beberapa Madzhab)
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majallah al-Ahkam al- ‘Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.[7]Yang dimaksud masa taqlid di sini adalah, mengikuti, berijtihad, dan saling menguatkan  terhadap satu madzhab mereka masing- masing tanpa ada analisis terhadap perkembangan ijtihad.Inilah salahsatu upaya dalam kesungguhan ulama’ dalam menyimpulkan suatu persoalan dengan dasar ijtihad yang sudah ditetapkan oleh imam mereka, disertai takhrij dan tarjih.
-          Sebab terhentinya pintu ijtihad
i.      Terbentuknya beberapa madzhab dari imam mereka masing- masing.
ii.    Terpecahnya Daulah Islamiyah ke dalam sejumlah kerajaan yang diantara subyeknya saling bertikai, sehingga mereka disibukkan dalan permasalahan kriminalitas dan politik
iii.  Ta’ashub dan munculnya sikap egoisme terhadap madzhabnya masing- masing dan saling mengkukuhkan atas kebenaran alirannya
iv.  Banyak di antara mereka melakukan upaya pengulasan masing- masing madzhad berbelok dari tinjauan Al Qur’an dan As Sunnah, sehingga lenyaplah sudah kepribadian seorang alim dalam pribadi mereka.
v.    Mengabaikan peraturan kekuasaan tasyri’ dan tidak melatakannya pada ijtihad yang lurus.

v.                  Kebangkitan Ulang Ilmu Fiqih (Gerakan Pembaharuan dan Terbukanya Pintu Ijtihad)
Setelah sekian lama ilmu Fiqh terombang- ambing oleh zaman yang semakin maju dan terhentinya ijtihad karena beberapa factor, maka analisa ilmu fiqh bangkit kembali untuk menghadapi solusi hukum yang terjadi, yaitu sejak munculnya majallah al- ahkaam al- Adliyyah (Kodifikasi Hukum Perdata Islam) pada masa kekhilafahan Turki Utsmani pada tahun1286 H dan direalisasikan pelaksanaannya pada tahun 1292 H diiringi dengan munculnya beberapa ulama’ penentang taqlid pada saat ini, diantaranya; Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al- Jauziyyah, Imam Syaukani, dan masih banyak lagi, dengan mengeluarkan beberapa kitab fatwa, seperti Majmu’atul fatawaa milik I. Ibnu Taimiyyah.
Tatkala pada masa ini, berpencarlah gerakan- gerakan islam di seluruh penjuru negara Islam yang berinisiatif untuk membangkitkan kembali semangat terhadap kebangkitan Islam, terkhusus dalam masalah Aqidah daan Syariat Islam, dengan menjauhkan segala perkara bid’ah. Diantaranya banyak para ulama’ mujaddid yang begitu besarnya perhatian mereka terhadap syari’at Islam dengan memperbaiki pemahaman Islam yang benar, seperti harakah Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab yang dikenal sebagai Harakah al Muwahhidin, harakah Hasan al- Banna, yang dikenal dengan Harakah Ikhwanul Muslimin, dan .harakah Jamaluddin al- Afghony.
Seiring berjalannya waktu, berkat pertolongan Allah melalui para hamba- Nya, berdasarkan pendekatan terhadap pendekatan antarmadzhab hukum Islam semakin berkembang dengan ditinjau dari ilmu Fiqh yang mencakup berbagai dalil- dalil syar’i, terkhusus pada antara abad ke- 19 sampai 20, dapat dikatakan dengan masa kebangkitan ilmu fiqh dengan banyaknya timbul berbagai permasalahan yang baru yang menuntut adanya solusi hukum yang relevan dengan banyaknya kolektif ijtihad dari beberapa ulama’ terdahulu.
Secara umum, ilmu fiqh menjadi berkembang pesat hingga saat ini.Namundi samping itu, berbagai tantangan semakin pesat pula dalam manghadapi serangan- serangan yang menumbuhkan berbagai keraguan dan kerancauan terhadap berbagai adu argumentasi dalam memahami Islam secara kaffah. Meskipun demikian, dengan izin Allah, syari’at Islam dan kejernihan aqidah Islam serta usaha para ulama’ terdahulu tak akan pernah tersia- siakan demi tegaknya Dienul Islam yang diridhoi.
C.     KESIMPULAN
Seiring berjalannya zaman, sejak sebelum diutusnya Rasul, yang mana pada saat itu kondisi menjadi sangat memprihatinkan. Tidak bisa dibayangkan bila sampai saat ini hukum masih hampa,tanpa ada penopang dan pedoman yang dimiliki oleh seluruh manusia. Dengan diutusnya Rasul ke muka bumi ini sebagai pembaharuan revolusi hukum yang memiliki pedoman yang pasti.
Zaman tidak tinggal diam, seiring banyaknya para salafush shaleh sebagai penerus dan pewaris  ilmu mengantarkan umat menuju pedoman yang syumuli dan kehidupan yang lurus. Dengan mengeluarkan berbagai ijtihad yang ditinjau dari kedua pedoman tersebut, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah ketika terdapat suatu persoalan yang memungkinkan sulit untuk secara langsung merujuk kepada kedua pedoman tersebut, sehingga memaksa mereka untuk mengeluarkan hukum dengan ijtihad yang lurus.












Referensi:
-  Al Qur’an dan Terjemahnya, CV. Al Hanaan
-  Abdul Karim Zaidan, al- Madkhol lid Diraasah asy- Syarii’ah al- Islaamiyah (Iskandariyah: Daar ‘Umar ibn al- Khaththab)
-  Abdul Wahab Khalaf,Khulashah Tarikh At-Tasyri' Al-Islamy, (Cetakan ke-8, Al-Haramain)
-  Al- ‘Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, cetakan pertama, 2011 M)
-  Badron Abdul ‘Ainaini Badron, Tarikh Fiqih Al-Islami wa Nadzriyatil Malikiyah wa ‘Uquud,(Beriut: Daar An-Nahdzoh Al-‘Arobiyyah)
-  Manna’ Qaththan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, (Cetakan ke-2, Mu'asasah Ar-Risalah)
-  Muhammad Abdul Lathif Shaleh Al Farfuri,Tarikh al Fiqh al Islamy, (Beriut: Daar Ibn Katsir, cet-)
-  Wahbah az- Zuhaily, al- Fiqhu Islam wa Adillatuhu, (…)
-  _________________, al- Wajiz fii Ushuulil Fiqh, (Damaskus: Darul Fikr, Cet-2, 1419 H, 1999 M)
-  PDF. SEJARAHPERUNDANGANISLAM ( تاريخالتشريعالسلمى),Ustaz Muhammad Fauzi Asmuni, IKATAN MUSLIMIN MALAYSIA (ISMA)
-  http://ragab304.wordpress.com/2009/02/11/perkembangan-ilmu-fiqh/
-  Majalah hujjah, eds:01, 2015




[1]Prof. Abdul Wahhab Khollaf, khulashoh tarikh tasyri’ islam, hal: 7
[2] Fiqh islam wa adillatuhu, Dr. Wahbah Zuhaily, hal: 27, jilid 1
[3]alWajiizu fii ushuulil fiqh, Ustadz. Dr. Wahbah Az Zuhaily,  hal: 14
[4]Ahlus sunnah wal jamaah, mereka yang rela atas kepemiSEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

A.     PENDAHULUAN
Pujian untuk Allah yang telah mengatur hambaNya dengan sebaik- baik mungkin. Karena kasihsayangNya, segala amal pebuatan kita memiliki pondasi dan tatacaraapa yang seharusnya kita perbuat.
Pada hakikatnya, sudah menjadi sebuah kepastian bahwasanya manusia hidup secara bersosialisasi.Di dalam lingkup komponen tersebut, perlunya sebuah hukum untuk mengatur segala visi dan misi dari berbagai individu masing- masing. Perlu diketahui, di dalam kehidupannya  manusia memiliki masing- masing  tatacara hubungan dirinya dengan Rabbnya maupun dengan manusia sekitar dan lingkungannya. Dengannya, islam mengatur secara tersusun rapi di dalam Al Quran dan As Sunnah yang sampai saat ini menjadi pedoman hidup kaum muslimin.
Secara syumuly, hukum terbagi menjadi tiga, diantaranya: hukum yang berkaitan dengan Rabb, hukum yang berkaitan dengan dirinya, dan hukum yang berkaitan dengan tatacara mu’amalah. Dengan kata lain, hukum terkait pada masalah aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalah.
Adapun sejarah terbentuknya hukum islam, terbagi menjadi dua periode, diantaranya:
1.      Periode Tasyri’, yang terjadi hanya pada masa Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam
2.      Periode Fiqih,yang terbentuk menjadi beberapa fase:
a.       Fase pertama    : Masa Sahabat
b.      Fase kedua       : Masa Akhir Sahabat dan Permulaan Tabi’in
c.       Fase ketiga       : Masa Puncak Kejayaan Ilmu Fiqih
d.      Fase keempat   : Masa Taqlid
e.       Fase kelima      : Masa Kebangkitan Ulang Ilmu Fiqih
Dengan demikian, keberadaan sejarah hukum islam memiliki peranan penting guna mengenali bagaimana titik sudut fase perkembangan syariat yang ditinjau dari asas Al Qur’an dan As Sunnah dengan memahami cara pandang syariat Islam yang berhadapan dengan berbagai penkembangan dan peradaban yang berlaku hingga saat ini.
B.     SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
Sebelum terbentuknyahukum Islam pada zamanRasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, keadaan dunia begitu memprihatinkan, bagai kehidupan tanpa mentari. Dengan kondisi masyarakat jahiliyah yang tidak memiliki satu pedoman hukum yang hakiki, seolah kebodohan menjadi akar kehidupan mereka, termasuk wilayah jazirah Arab. Walau demikian, masyarakat arab umumnya memiliki jiwa ksatria dan dunia perekonomian dan perpolitikan yang begitu tinggi, meski masih bercampur aduk antara yang hak dan yang bathil. Dengan diutusnya sang Rasul di jazirah tersebut dan  membawa cahaya Islam secerah mentari secara sempurna menerangi bumi, maka situasi dan kondisi menjadi semakin membaik secara berangsur- angsur.
Sejak diutusnya Rasul hingga saat ini, periode hukum islam terbagi menjadi dua bagian, diantaranya: Periode Tasyri’ dan Periode Fiqih, yang di dalamnya terdapatbeberapa fase perkembangan yang akan saya bahas di bawah ini nantinya:

1.      PERIODE TASYRI’
Pengertian tasyri’ menurut istilah syara’ dan undang- undang adalah pembuatan atau pembentukan undang- undang untuk mengetahui hukum- hukum bagi orang dewasa, dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi di kalangan mereka.[1]. Adapun pembentukan tasyri’ ini bersumber dari Allah dan Rasul-Nya yang diilhami dari wahyu ilahi.
Periode tasyri’ merupakan masa di mana awal terbentuknya hukum islam yang  terjadi sejak diutusnya Nabi Muhammadshallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi Rasul sampai wafatnya beliau, bertepatan pada tahun 11 H. oleh sebab itu, tidak ada istilah tasyri’ melainkan hanya pada masa beliau saja. Pada periode  ini tidak dinamakan fiqh karena secara otoritas segala hukum dikembalikan atau dipegang oleh Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan bersumberkan dua wahyu yaitu Al Quran yang secara makna dan lafadz dari Allah maupun As sunnah yang secara makna dari Allah dan lafadz dikembalikan pada Rasulullah. 
Allah berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4).(النجم: 3-4)
Artinya:dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.(Q.S. An Najm: 3-4)
Adapun tasyri’ pada masa beliau, terbagi menjadi dua, diantaranya: Tasyri’ di Makkah dan Tasyri’ di Madinah. Tasyri’ di Makkah terjadi selama 13 tahun semenjak masa diutusnya Rasul sampai menjelang hijrahnya beliau ke Madinah. Tasyri’ di Makkah hanya membahas sedikit hukum islam, sebab misi utama da’wah para rasul adalah memnanamkan aqidah di hati para umatnya. Oleh sebab itu, Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya memfokuskan misinya dalan pembenaran aqidah yaitu dengan mengubah revolusi aqidah mereka dan mengubah system kepercayaan mereka menuju tauhid Uluhiyyah kepada Allah. Sedangkan tasyri’ di Madinah, merupakan sebuah misi utama bagi seorang rasul, hijrah tidak lain hanyalah guna membentuk ummat yang baru yang secara pasti membutuhkan hukum. Oleh karena itu, tujuan adanya tasyri’ di Madinah untuk menegakkan system kenegaraan Islam dari seluruh aspek kehidupan, diterapkannya interaksi sosial antarmasyarakat dan system sosial politik.

2.      PERIODE FIQH
Fiqh secara etimologi: 
الفقه dalam bahasa Arab berarti  الفهم (pemahaman), sebagaimana yang bisa kita pahami dari firman Allah SWT.
قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا مِمَّا تَقُولُ….(91).(هود:91)
Artinya: “ mereka berkata, ‘Wahai Syu’aib! Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang engkau katakan itu….”(Q.S. Huud: 91)[2]
Sementara secara terminology: Ilmu fiqh adalah pengetahuan terhadap hukum syar’i yang bersifat amaliyah (praktek) yang dihasilkan dan disimpulkan dari dalil- dalil syar’i secara terperinci.[3]
Ilmu fiqh merupakan bentuk pondasi dimensi kehidupan manusia dalam menjalankan kemaslahatan di dunia dan diakherat, baik yang berhubungan dengan Rabbnya, dirinya, maupun dengan manusia, yang di dalamnya mengandung berbagai hukum- hukum.Sementara sejarahperkembangan ilmu fiqih sebagaimana penjelasan berikut ini:
i.                    Masa Sahabat (Permulaan Khulafa’ur Rasyidin) (11 H- 40 H)
Terjadi sejak sepeninggal Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam pada tahun 11 H. Ketika itu mulailah timbulnya ilmu fiqh, yang merupakan terbukanya pintu ijtihad bagi para sahabat disebabkan banyaknya ikhtilaf dalam cara pandang ketika memahami hukum- hukum yang ada.Dan hasil dari ijtihad para sahabat dapat dipercaya dan menjadi sumber hukum syara’ atau fiqh Islam.
Sebenanya fiqh sendiri sudah ada semenjak zaman Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi baru diaplikasian menjadi disiplin ilmu yang nyata baru ada sepeninggal beliau.Merupakan sebuah embrio timbulnya ilmu fiqh setelah habisnya masa tempo periode tasyri’ disebabkan beberapa faktor, diantaranya: terjadinya perbedaan pendapat yang kontemporer,  pemahaman antara syubhat yang satu dengan syubhat yang lain berbeda, serta luasnya pemahaman sahabat yang berbeda- beda, baik di dalam menyaksikan asbaabun  nuzul al quran maupun yang lainnya. Semantara  masdar tasyri’nya bersumber dari al qur’an dan sunnah, serta beberapa ijtihad yang pernah dilakukan oleh Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam beserta sahabatnya. Mereka juga mengeluarkan ijtihad ketika terjadi beberapa persoalan yang tidak di jumpai nashnya secara khusus atau qath’iy di dalam alquran maupun hadits. Hal ini didasarkan pada Hadits muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya Rasulullahshallalaahu ‘alaihi wa sallam. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam (HR. Bukhari)
Sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, pada masa Abu Bakar terjadi pertentangan dan keraguan di antara kaum muslimin dalam menetapkan siapa yang akan menjadi pemimpin di antara mereka. Akan tetapi Abu Bakar mengambil alih dengan adil dan disepakati oleh para sahabat yang layak dijadikan khalifah adalah bagian  dari kelompok muhajirin, dan pada akhirnyaa bai’at jatuh ke tangan beliau. Memang sudah ada tanda- tanda mengenai kekhilafahannya tatkala menjelang wafatnya Rasulullah, dengan menggantikaan sebagai imam sholat di saat Rasulullah sakit.
Tepat pada tahun 11 H, terbaiatnya Abu Bakar menjadi khalifah.Tidak lama setelah pembaiatannya, banyak sekali permasaklahan- permasalahan rumit yang dihadapi, diantaranya; banyaknya kaum muslimin yang murtad disebabkan kematian Rasulullah, banyaknya kaum muslimin yang menolak untuk membayar zakat, dan banyaknya manusia yang yang mengklaim dirinya sebagai nabi.Hal inilah yang menjadi persoalan untuk mengambil alih jalan keluar dengan ijtihad.
Sepeninggal Abu Bakar, maka dilanjutkan oleh Umar bin Khaththab atas dasar permintaan Abu Bakar. Pada masa Umar inilah merupakan benturan syariat terhadap budaya, moral, dan etika makhluk humanisme. Begitu pula, umar banyak andil dalam menetapkan berbagai hukum yang masih samar dan sulit dipahami.. Sehingga banyak terjadi permasalahan fiqh yang dinamakan fiqh kotemporer, diantaranya dalam menetapkan koordinasi peperangan dan berbagai permasalahan siyasah.
Disebabkan banyaknya perbedaan pendapat di antara sahabat di berbagai negara dan ijtihad mereka dalam menentukan hukum- hukum yang baru, maka muncullah berbagi pembelajaran fiqh yang berbeda- beda. Pada masa ini, hukum masih sangat bergantung pada Al Quran dan As- Sunnah, karena segala peristiwaa yang terjadi masih sederhanamemungkinkan untuk merujuk kepada kedua pedoman tersebut.
ii.                  Masa Akhir Sahabat dan Permulaan Tabi’in (40 H- 101 H)
Terjadi pada masa kekhilafahan Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib, yang dilanjutkan kepada kekuasaan Daulah Umawiyyah sampai masa runtuhnya daulah tersebut dan kemudian digantikan oleh Daulah Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad ke-1 H (40 H) sampai akhir abad ke- 1 H (101 H). Rupanya semakin banyak para sahabat yang berpencar ke berbagai penjuru daerah setempat yang pernah ditaklukkan oleh Islam. Peristiwa ini terjadi pada masa periode akhir sahabat dan permulaan masa munculnya para tabi’in, di mana pada saat itu babyak sekali terjadi khilaf dalan menguraikan pendapt mengenai berbagai permasalahan yang berhbungan dengan huk,ukm sayra’i, disebabkan asing- masing sahabat menghadapi berbagai persoalan yang berbeda- beda, sesuai dengan kondisi letak wilayah setempat.  
Dari situlah disiplin ilmu fiqh secara analisis muncul karena tekanan perkembangan zaman yang menuntut untuk menghasilkan sebuah hukum – hukum syar’i dengan jalur ijtihad yang benar.Namun, padamasa inilah nampak berbagai fitnah yang menyerang kekhalifahan hingga tebunuhnya Utsman. Oleh sebab itu, ummat islam berpecah menjadi tiga golongan, antara lain: ahlus sunnah, syiah, dan khawarij[4]. Kemudian dilanjutkan oleh kekhilafahan ‘Ali bin Abi Thalib yang beralih kekuasaan di Kuffah. Semakin berjalannya waktu, semakin menyebar pula para sahabat di mana- mana, sehingga mereka banyak yang mengkader generasi selanjutnya dalam mewarisi ‘ulumuddin. Mereka adalah para tabi’in yang menjadi cikal bakal penerus yang menggantikan para sahabat dalam memimpin ummat. Maka sudah sewajarnya banyak di antara mereka terjadi ikhtilaf  dalam memahami beberapa persoalan yang dihadapi. Sehingga terbentuklah dua aliran Fiqh,  yaitu ahl ra’yi dan ahl hadits.
            Adapunahl ra’yi, bertempat di daerah Kuffah (Irak), dipelopori  oleh Abdullah bin Mas’ud, disebabkan tidak memungkinkan jika hanya berpadu kepaga al- quran dan hadits, maka dari itu mereka berinisiatif untk berijtihad menggunakan akal secara sempurna dalam proses penyelesaian masalah. Begitu pula karena factor permasalahan yang terus semakin  baru. Abdullah bin Abbas ini, banyak belajar dari cara berfikir Umar bin Khattab r.a dalam menggunakan logika dan mencari ‘ilah (sebab) hukum ketika tidak ditemukan nash (teks). Diantara ulama’ penerus yang terkenal ialah Alqamah, Ibrahim An- Nakha’i, dan masih banyak lagi termasuk I. Abu Hanifah.
Sementara ahl hadits, yang bertempat di wilayah Hijaz ( Madinah), pembesar golongan ini dari kalangan sahabat adalah Zaid bin Tsabit r.a, Abdullah bin Umar r.a dan ‘Aisyah r.a.Mereka banyak mengedepankan hadits dalam menghadapi beberapa persoalan, karena pada saat itu, mereka banyak bertemu bersama Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya.
iii.                Masa Puncak Kejayaan (101 H- 350 H)
Terjadi pada permulaan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H,yaitu sejak tahun 101 H sampai 350 H. Tepat pada masa Dinasti Abbasiyah yang memberikan ruang kepada ulama’.Pada periode ini, merupakan hasil dari berbagai fatwa sebagian sahabat dan para tabi’in. Disebut juga dengan periode keemasan ilmu Fiqh dengan munculnya beberapa imam mujtahid untuk berijtihad, disertai dengan pembentukan madzhab – madzhab fiqh ahlussunnah yang terkenal diantaranya; Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali, dengannya fiqh menjadi berkembang.
Mazhad Hanafi yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah (80 - 150 H), beliau menisbatkan seluruh ijtihadnya dengan pendapat ahlur ra’yi, sehingga mereka sering menggunakan qiyas dalam membentuk suatu hukum. Mereka menisbatkan diri mereka dengan ahl ra’yi disebabkan sangat jarang hadits yang di dapati di daerah tersebut dan tidak memungkinkan untuk tidak absen dalam memperoleh hadits serta keberadaan lokasi yang minim untuk dijangkau. Ciri khusus lain aliran ini adalah para Fuqaha’-nya tidak takut dalam berfatwa bahkan dalam memperkirakan hal-hal yang belum terjadi (iftiradh), namun meskipun demikian, mereka sangat ketat dalam menerima hadits, karena takut terhadap masuknya hadits palsu yang banyak beredar di sana.[5]
            Di dalam persoalan fiqh, kedudukannya sangat disegani oleh beberapa ulama’ pada masanya, terkhusus I. Malik dan I. Syafi’i. Pada masa kini, madzhabnya banyak diikuti oleh masyarakat Irak, India, China, dan berbagai kerajaan non-arab.Bahkan pada masa Dinasti Abbasiyah, madzhab ini begitu ditekankan dan diterapkan pada pemerintahannya.
Sementara Imam Malik (93 H -179 H) sendiri, merupakan pendukung ahl hadits.Ia dikenal memiliki pemahaman ‘amal ahl madinah yang secara otomatis masih murni mengikuti dan meneladani prinsip Rasulullah, dengannya mudah untuk meriwayatkan hadits dari para sahabat yang masih tinggal di Madinah. Setelah Imam Malik, terdapat Imam Syafi’i (150 H- 204 H) yang menggabungkan pendapat ahl ra’yi dan ahl hadits, yang sebelumnya beliau telah belajar kepada para sahabat Abu Hanifah pada saat itu.Dari sinilah pertentangan kedua aliran ini menjadi bersahabat dan saling menguatkan satu sama lain.
Kemudian generasi selanjutnya diteruskan oleh I. Ahmad bin Hanbal (164 H- 241 H). Tidak sering beliau berpendapat dan berijtihad terhadap suatu hukum, beliau bahkan lebih sering dan tangguhdalam periwayatan hadits.Meskipun begitu, para pengikutnya dapat membentuk madzhab, yang dikenal sebagai Madzhab Hanbali.Akan tetapi madzhabnya sedikit sekali pengikutnya, karena sangat sedikit sekali dalam berijtihad.
Setelah terbentuknya beberapa madzhab yang disepakati, para imam madzhab masing- masing diantara mereka mengkodifikasikan kitab- kitab yang dijadika sebagai mu’tamad dalam berhujjah, yang kemudian diteruskan oleh beberapa murid mereka, seperti al- Muwaththo’ milik Imam Malik, al-Umm dan ar- Risalah milik Imam Syafi’i, dan masih banyak lagi kitab- kitab mu’tamad mereka.
Penyusunan kitab ilmu Fiqh baru terjadi seiring tumbuh dan berkembangnya mazhab-mazhab fiqh yang disepakati setelah masa sahabat dan setelah terjadinya pengkodifikasian ilmu hadits. Fiqh bermula melalui program halaqoh tanpa bersifat formal. Namun, seiring berjalannya waktu dan kebutuhan terhadap ilmu Fiqh semakin meluas, maka sebagian murid dari empat imam tersebut mulai membukukan ilmu Fiqh secara khusus dan fleksibel.
Di sisi lain, pada masa Bani Umayyah timbul perhatian sebagian Qadhi (hakim) beberapa daerah untuk membukukan hukum-hukum mereka, pembukuan hukum ini pertama kali dilakukan oleh seorang Qadhi Bani Umayyah di Mesir, yang membukukan hukum waris.Ide pembukuan Fiqh ini semakin kuat, kemudian para Fuqaha’ Madinah mulai mengumpulkan ddan membukukan fatwa-fatwa para sahabat seperti Abdullah ibnu Umar r.a, Aisyah r.a, Abdullah bin Abbas r.a dan beberapa ulama- ulama besar di kalangan tabi’in Madinah, diantara bukti kongkritnya adalah pembukuan Muwaththa’ Imam Malik r.a. Sementara di Iraq juga terjadi hal yang sama, diantaranya Ibrahim an-Nakh’ai r.a yang mengumpulkan fatwa-fatwa ulama mereka.[6]
iv.                Masa Taqlid (Tertutupnya Pintu Ijtihad Setelah Terbentuknya Beberapa Madzhab)
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majallah al-Ahkam al- ‘Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.[7]Yang dimaksud masa taqlid di sini adalah, mengikuti, berijtihad, dan saling menguatkan  terhadap satu madzhab mereka masing- masing tanpa ada analisis terhadap perkembangan ijtihad.Inilah salahsatu upaya dalam kesungguhan ulama’ dalam menyimpulkan suatu persoalan dengan dasar ijtihad yang sudah ditetapkan oleh imam mereka, disertai takhrij dan tarjih.
-          Sebab terhentinya pintu ijtihad
i.      Terbentuknya beberapa madzhab dari imam mereka masing- masing.
ii.    Terpecahnya Daulah Islamiyah ke dalam sejumlah kerajaan yang diantara subyeknya saling bertikai, sehingga mereka disibukkan dalan permasalahan kriminalitas dan politik
iii.  Ta’ashub dan munculnya sikap egoisme terhadap madzhabnya masing- masing dan saling mengkukuhkan atas kebenaran alirannya
iv.  Banyak di antara mereka melakukan upaya pengulasan masing- masing madzhad berbelok dari tinjauan Al Qur’an dan As Sunnah, sehingga lenyaplah sudah kepribadian seorang alim dalam pribadi mereka.
v.    Mengabaikan peraturan kekuasaan tasyri’ dan tidak melatakannya pada ijtihad yang lurus.

v.                  Kebangkitan Ulang Ilmu Fiqih (Gerakan Pembaharuan dan Terbukanya Pintu Ijtihad)
Setelah sekian lama ilmu Fiqh terombang- ambing oleh zaman yang semakin maju dan terhentinya ijtihad karena beberapa factor, maka analisa ilmu fiqh bangkit kembali untuk menghadapi solusi hukum yang terjadi, yaitu sejak munculnya majallah al- ahkaam al- Adliyyah (Kodifikasi Hukum Perdata Islam) pada masa kekhilafahan Turki Utsmani pada tahun1286 H dan direalisasikan pelaksanaannya pada tahun 1292 H diiringi dengan munculnya beberapa ulama’ penentang taqlid pada saat ini, diantaranya; Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al- Jauziyyah, Imam Syaukani, dan masih banyak lagi, dengan mengeluarkan beberapa kitab fatwa, seperti Majmu’atul fatawaa milik I. Ibnu Taimiyyah.
Tatkala pada masa ini, berpencarlah gerakan- gerakan islam di seluruh penjuru negara Islam yang berinisiatif untuk membangkitkan kembali semangat terhadap kebangkitan Islam, terkhusus dalam masalah Aqidah daan Syariat Islam, dengan menjauhkan segala perkara bid’ah. Diantaranya banyak para ulama’ mujaddid yang begitu besarnya perhatian mereka terhadap syari’at Islam dengan memperbaiki pemahaman Islam yang benar, seperti harakah Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab yang dikenal sebagai Harakah al Muwahhidin, harakah Hasan al- Banna, yang dikenal dengan Harakah Ikhwanul Muslimin, dan .harakah Jamaluddin al- Afghony.
Seiring berjalannya waktu, berkat pertolongan Allah melalui para hamba- Nya, berdasarkan pendekatan terhadap pendekatan antarmadzhab hukum Islam semakin berkembang dengan ditinjau dari ilmu Fiqh yang mencakup berbagai dalil- dalil syar’i, terkhusus pada antara abad ke- 19 sampai 20, dapat dikatakan dengan masa kebangkitan ilmu fiqh dengan banyaknya timbul berbagai permasalahan yang baru yang menuntut adanya solusi hukum yang relevan dengan banyaknya kolektif ijtihad dari beberapa ulama’ terdahulu.
Secara umum, ilmu fiqh menjadi berkembang pesat hingga saat ini.Namundi samping itu, berbagai tantangan semakin pesat pula dalam manghadapi serangan- serangan yang menumbuhkan berbagai keraguan dan kerancauan terhadap berbagai adu argumentasi dalam memahami Islam secara kaffah. Meskipun demikian, dengan izin Allah, syari’at Islam dan kejernihan aqidah Islam serta usaha para ulama’ terdahulu tak akan pernah tersia- siakan demi tegaknya Dienul Islam yang diridhoi.
C.     KESIMPULAN
Seiring berjalannya zaman, sejak sebelum diutusnya Rasul, yang mana pada saat itu kondisi menjadi sangat memprihatinkan. Tidak bisa dibayangkan bila sampai saat ini hukum masih hampa,tanpa ada penopang dan pedoman yang dimiliki oleh seluruh manusia. Dengan diutusnya Rasul ke muka bumi ini sebagai pembaharuan revolusi hukum yang memiliki pedoman yang pasti.
Zaman tidak tinggal diam, seiring banyaknya para salafush shaleh sebagai penerus dan pewaris  ilmu mengantarkan umat menuju pedoman yang syumuli dan kehidupan yang lurus. Dengan mengeluarkan berbagai ijtihad yang ditinjau dari kedua pedoman tersebut, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah ketika terdapat suatu persoalan yang memungkinkan sulit untuk secara langsung merujuk kepada kedua pedoman tersebut, sehingga memaksa mereka untuk mengeluarkan hukum dengan ijtihad yang lurus.












Referensi:
-  Al Qur’an dan Terjemahnya, CV. Al Hanaan
-  Abdul Karim Zaidan, al- Madkhol lid Diraasah asy- Syarii’ah al- Islaamiyah (Iskandariyah: Daar ‘Umar ibn al- Khaththab)
-  Abdul Wahab Khalaf,Khulashah Tarikh At-Tasyri' Al-Islamy, (Cetakan ke-8, Al-Haramain)
-  Al- ‘Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah Ibnu Khaldun, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, cetakan pertama, 2011 M)
-  Badron Abdul ‘Ainaini Badron, Tarikh Fiqih Al-Islami wa Nadzriyatil Malikiyah wa ‘Uquud,(Beriut: Daar An-Nahdzoh Al-‘Arobiyyah)
-  Manna’ Qaththan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, (Cetakan ke-2, Mu'asasah Ar-Risalah)
-  Muhammad Abdul Lathif Shaleh Al Farfuri,Tarikh al Fiqh al Islamy, (Beriut: Daar Ibn Katsir, cet-)
-  Wahbah az- Zuhaily, al- Fiqhu Islam wa Adillatuhu, (…)
-  _________________, al- Wajiz fii Ushuulil Fiqh, (Damaskus: Darul Fikr, Cet-2, 1419 H, 1999 M)
-  PDF. SEJARAHPERUNDANGANISLAM ( تاريخالتشريعالسلمى),Ustaz Muhammad Fauzi Asmuni, IKATAN MUSLIMIN MALAYSIA (ISMA)
-  http://ragab304.wordpress.com/2009/02/11/perkembangan-ilmu-fiqh/
-  Majalah hujjah, eds:01, 2015



[1]Prof. Abdul Wahhab Khollaf, khulashoh tarikh tasyri’ islam, hal: 7
[2] Fiqh islam wa adillatuhu, Dr. Wahbah Zuhaily, hal: 27, jilid 1
[3]alWajiizu fii ushuulil fiqh, Ustadz. Dr. Wahbah Az Zuhaily,  hal: 14
[4]Ahlus sunnah wal jamaah, mereka yang rela atas kepemimpinan muawiyyah r.a. Syiah, mereka yang fanatic terhadap khalifah ali r.a dan berasumsi khilafah hanya ada pada keturunan ali r.a, sehingga mereka melaknat muawiyyah. Khawarij, mereka yang mencela ali r.a dan muawiyyah r.a, bahkan mengafirkannya
[5]http://ragab304.wordpress.com/2009/02/11/perkembangan-ilmu-fiqh/

[6]http://ragab304.wordpress.com/2009/02/11/perkembangan-ilmu-fiqh/
[7]Makalah “Ringkasan sejarah munculnya madzhab fiqh”mpinan muawiyyah r.a. Syiah, mereka yang fanatic terhadap khalifah ali r.a dan berasumsi khilafah hanya ada pada keturunan ali r.a, sehingga mereka melaknat muawiyyah. Khawarij, mereka yang mencela ali r.a dan muawiyyah r.a, bahkan mengafirkannya
[5]http://ragab304.wordpress.com/2009/02/11/perkembangan-ilmu-fiqh/

[6]http://ragab304.wordpress.com/2009/02/11/perkembangan-ilmu-fiqh/
[7]Makalah “Ringkasan sejarah munculnya madzhab fiqh”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

wadhih ad-Dalalah

HUKUM MENIKAHI DUA PEREMPUAN BERSAUDARA SECARA BERSAMAAN

Bagaimana Kita Tahu Terjadi Dislokasi Tulang Belakang?